Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Surat Kesebelas

Gambar
Aku seringkali memimpikan manusia-manusia feminis disekelilingku. Manusia yang memandang bahwa kesetaraan adalah jalan hidup yang sesungguhnya. Memandang kekerasan, ketidakadilan, penindasan, hagemoni sebagai suatu hal yang tidak manusiawi. Manusia yang melakukan sesuatu hal dengan mata, hati dan tindakan. Berarti manusia yang menyadari, melihat, mengalami adanya penindasan, hagemoni, diskriminasi yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut, seperti ungkapan Arimbi Heroepoetri dan Valentina mengenai definisi feminisme. Ini suatu hal yang sulit, jarang sekali terjadi. Kadang aku bingung, dimana dapat aku temukan Manusia yang melakukan itu. Sehingga aku kadang kali menghindar dengan hal-hal seperti ini. kadangkala itu menyiksaku dengan sangat. Mengumpat satu perempuan dengan perempuan lain. Mendewakan laki-laki sebagai hal yang membuat kehidupan menjadi berwarna. Aku sering lupa bahwa aku ataupun beberapa laki-laki dih

Semenanjung Senja

Gambar
‘Langit kadang tak mau menurunkan hujan, tapi selalu ada hujan lain yang tak berasal dari langit ’ Begitulah, tanpa layak kau di dera (Dee). Tak ada yang akan kita obati bersama. Tak ada luka disini. Tak ada kehilangan disini. Suara-suara telah kita habiskan bersama. Hanya bisu yang mengantarkan kita pada semenanjung senja kala itu. Untuk sebuah rasa yang datang pada akhir. Dan juga harus pergi pada saat yang sama. Mencoba merasai bersama, tak ingin satupun menyembunyikan suara-suara senja. Ini kejujuran. Satu rasa yang berbeda. Dan kita belajar tak berdusta. Berdua tak menghabiskan rasa. Tak berdua juga begitu. Sama saja. Setitik rasa senja kala itu tiba-tiba hadir, karena kau selalu hadir dalam proses yang begitu panjang. Jika ada tempat semenanjung senja, disitulah aku pernah mencoba menunggumu pulang. Ataupun menunggu kalimat-kalimat singkatmu kala aku terbangun. Kau juga pasti begitu. Ada rasa lain, tapi itu bukan kepastian. Ada semenanjung senja bersama tapi itu tak pernah

Mengenai Kata ‘Maaf’

Gambar
Suatu sore, empat belas tahun silam Ketika itu aku hanya berdua saja dengan saudaraku. Aku sering kesal tingkah lakuknya yang diluar batas. Kala itu, dia menggangguku dengan menarik-narik rambutku. Dengan sekuat tenaga aku membalas memukulnya menggunakan ganggang sapu. Hingga dia menangis menjerit. Itu tak sengaja kulakukan. Dan dia hanya diam saja sambil menangis menjerit. Ingin kupeluk dia kala itu, ingin kukatakan kala itu kata ‘maaf’ yang sangat dalam dan kujeritkan bahwa aku menyesal. Tapi dia hanya mampu mengunci kamarnya dan diam kepadaku. Aku hanya kebingungan dan menyesali yang terjadi. Tak terucap kalimat maaf sedikitpun kala itu, hingga dia dewasa saat ini. Mungkin saja kala itu kami masih anak-anak. Hanyalah bocah, yang tidak akan mengingat kejadian itu. Tapi tidak denganku. Seumur hidupku, aku sering menyesali kejadian itu. Saat itulah titik ketika aku gagal menjadi seorang saudara. Ketika aku tak mampu mengatakan ‘maaf’ untuk hal yang kulakukan dengan sadar dan menyakit

Surat Kesepuluh

Gambar
Dalam kelaparan, kita akan tau bagaimana menghargai setiap bulir keringat yang diperah untuk hidup kita. Banyak cara untuk menghargai. Manusia-manusia ceremonial adalah manusia wacana.   Kelaparan bukan hanya menusuk perut kita. Jantung serasa berhenti berdenyut. Darah tak mau lagi mengalir. Mata kadang melotot keluar. Amarah memuncak. Menjadi pencuri, menjadi perampok menjadi manusia mesin. Hingga korupsi, kolusi, nepotisme berawal dari sini. Bukan bermaksud menyederhanakan. Begitulah adanya. Dalam kelaparan yang sangat menghantui, pikiran menjadi sangat rumit. Tak tau mengadapi pola hidup yang bagaimana. Tak dapat dimengerti hidup itu seperti apa. Semua tertarik meruntuhkan bangunan kokoh kekuatan dalam hati. Hanya mereka yang mampu kuat. Hingga mampu melahirkan sebuan karya lain, dalam kelaparan. Semangat seakan bukan sebuah santapan siang yang lezat. Kelaparan hanya titik kepiluan, bukan akhir dari suatu zaman. Dan merubah pola semangat menjadi pola keanehan, bukanlah suatu ak

Surat untuk Kartini

Gambar
Pluto, 31 Oktober 2010 Dear Kartini, Aku hanya memandangi semua foto dengan tersenyum. Setidaknya sedikit kepuasaan dari apa yang kulakukan. Apa yang pernah kuinginkan, pernah kulakukan dan pernah kutinggalkan pada deretan jutaan pixel yang ada. Kehilangan itu sesuatu yang pasti. tapi ini bukanlah dari sebuah akhir. Ini sebuah awal yang baru. Menjadi manusia baru dan tetap menjadi sesuatu yang tak ingin ditinggalkan. Seoonggok surat-surat lahir. Kesemuanya bernafas mengenai kesetaraan. Semuanya memandang dan menginginkan kesetaraan, hingga seluruh jiwa yang ada diserahkan sepenuhnya. Ini lahir, bukan hanya dari pengalaman saja. Tapi ini lahir dari perahan-perahan keringat yang menyucur. Lahir dari pertengkaran-pertengkaran kecil yang seru. Lahir dari ejekan-ejekan atas pilihan yang lain. Hingga akhirnya memilih lagi. Saat surat-suratmu terkirim ke Julia Kristeva, aku serasa menjadi dirimu. Kembali ke abad lampau, dan membayangkan bahwa saat itu hidup lebih keras dari saat ini. tap

Surat Kesembilan

Gambar
‘Orang berkarakter tidak akan gagal menerima segalanya’ (Dumbledore) (Seperti ungkapan Dumbledore kepada Harry Porter dalam suatu sceen di serial terakhirnya. Begitu juga dengan kita manusia. Bahwa kita punya karakter masing-masing yang akan membuat dunia lebih berguncang) Manusia mesin dalam gambaranku Akhir-akhir ini kalimat ‘manusia mesin’ seringkali bercokol dalam hidupku. Bukan hanya ketika aku menulis surat-surat ini. Istilah itu menjadi begitu familiar ketika aku duduk di sudut kayu. Aku duduk dan dia mengetukku, hingga akhirnya aku menemukan istilah itu di salah satu sudut kakinya. Tulisannya mungkin begini  ‘sedang musim manusia mesin’. Kebingungan-kebingunganku mucul ketika tulisan ini menyentil kakiku. Kalimat ‘sedang musim’ menjadi begitu menggelitik sekali. Dia menggerak-gerakkan ekornya. Lalu dia memanggilku. ‘hai, kau tak tau aku kan? Tapi kau akan menjadi seperti aku suatu kala. Suatu kala ketika kau tak mau lagi merasai.’ ‘apa maksudmu? Siapa kamu?’ aku pura-pu

Surat Kedelapan

Gambar
Aku ingin dikejar ketika aku berlari. Aku ingin ditanya kenapa aku pergi. Atau dipeluk ketika aku pergi. Ditanya kabar ketika aku pergi. Ini bumi milikku. Tak juga begitu. Kadang itu hanya perasaan ketika kita sedih saja. Ketika semua daya hanya dianggap sebagai pelampiasan saja. Dianggap tak berarti, apalagi bermakna. Tenang saja, itu tak harus begitu. Kita akan menangis ketika kehilangan. Bisa satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan satu tahun. Namun, Tuhan menciptakan satuan itu, untuk menguji kita. Setelah itu, kita akan sekuat baja. Karena bermakna benar-benar tak baik untuk kita. Kesedihan dan kebahagian hanyalah selaput dara tipis. Kadang aneh, kesakitan dimaknai sebagai kebahagiaan. Kecenderungan-kecenderungan akan tak terduga ketika hati terpaut hilang. Kelaparan, tangisan akan menjadi satu. Terasa sungguh lain dari biasanya. Air mata bukan terasa asin lagi. Karena dia kelelahan hingga terasa campa. Tulisan-tulisan indah serasa lebur. Tak berbekas. Karena hanya kata-kata

Surat Ketujuh

Gambar
Biarkan hatiku tetap begini, lalu biarkan juga tubuhku tak pernah berbohong, agar aku mampu membuat perempuan-perempuan percaya pada hati juga pada tubuhnya Ruangan ini menjadi saksi bagaimana aku berproses. Bagaimana aku pernah tersedan karenanya, bagaimana aku pernah tertawa ketika memilih bercak ungu didindingnya. Bagaimana aku pernah berpeluh keringat menghadapinya dengan cinta, dengan segenap hatiku. Ini bagian yang paling sulit. Ketika aku ingin dan aku tak mampu melakukan dengan segenap hati, dengan sepenuh perasaan yang sulit kuungkapkan. Biarkan saja hatiku begini. Biarkan saja aku teguh dan kuat menjalani ini semua. Biarkan saja aku tertatih-tatih. Agar aku mampu membuktikan bahwa aku perempuan sejati. Perempuan yang bertanggungjawab atas pilihan-pilihannya. Perempuan yang bertanggungjawab ketika tubuhku berkata tidak. Ketika tubuhku berkata tak ingin berbohong. Sudah kubuktikan aku mampu. Sudah kukatakan aku sanggup. Beri aku ruang, beri aku kepastian bahwa aku adalah b

Surat Keenam

Gambar
Filosofi Garam : Sebuah Etika Memandang Pribadi Aku selalu mengatakan bahwa garam adalah bagian dari hidup siapapun. Rasanya sangat asin seolah tak berharga. Namun itulah kita, setiap detik kita, kita bergantung dengan lainnya. Aku melambangkan garam dengan hidup kita. Setiap masakan tak mampu memberi ruh ketika garam kehilangan tahtanya. Setiap garam merupakan etika kita memandang pribadi orang-orang yang kita sayangi sebagai suatu hal yang sangat menakjubkan. Dengan segenap hati dan jiwa. Tanpa hiperbola atau eufemisme. Aku pernah membayangkan ketika garam pindah ke Pluto. Bagaimana aku mampu menjalani hidup ketika tanpamu. Bagaimana aku mampu menulis jika tanpamu. Bagaimana aku mampu melakukan apapun jika tanpamu. Tanpa tatapanmu, ataupun belaianmu di rambut pirangku. Begitulah garam. Setiap masakan akan hampa, jika garam menghilang. Begitulah garam. Setiap deburan ombak akan terasa hampa jika lautnya tak berasa kelat asin. Atau begitulah garam dalam tubuh kita, akan terasa aneh

Surat Kelima

Gambar
Tidak ada kebohongan yang berwajah tunggal Apapun itu. Kebohongongan selalu tak pernah sekali. Kebohongan satu dengan lainnya akan menjadi sebotol sistem yang bergelut menjadi rangkaian menyakitkan. Ini tentang kejujuran. Kebohongan dan kejujuran menjadi batas sangat tipis. Sejauh ini mereka sebuah hal yang sangat berbeda. Menjadi pilihan antara kiri dan kanan, atau depan dan belakang, atau atas dan bawah, ataupun menjadi baik dan buruk. Tapi semua hanya simbol, bukan bermaksud menstigma. Ini hanya persoalan pilihan. Tak mengapa. Tak ada yang salah. Yang ada hanya antara konsekuensi dan resiko. Kita tak butuh mempercayai apapun itu. Kecuali dengan keyakinan yang lebih. Keyakinan membutuhkan perasaan yang mendalam. Kau tau, begitulah aku menyakinimu. Bahwa antara kebohongan dan kejujuran diciptakan untuk kita menyakini sesuatu dengan sungguh-sungguh. Jika kebohongan kau lakukan untuk menyakiniku berarti, maka bersiap-siaplah kita akan hidup dalam rangkaian kesemuan yang ada. Dan ki

Merasai…

Gambar
(untuk kehidupanku akhir-akhir ini) Kau harus lihat dengan hatimu, baru kau merasai… Cinta, kehidupan datang dengan tiba-tiba. Kadang-kadang tak seperti yang kita pikirkan. Menjadi sebuah alat ataupun alibi untuk memalsukan hati. Kau harus lihat, terkadang aku mampu tersenyum walau ucap kata menyakitkan datang. Aku tak biasa begini. Menjadi tempatmu, tapi tak pernah kau rasai bahwa ini adalah sebuah sisi lain dari sudut hati. Tak pernah terpikir untuk menyakiti. Kejujuran yang terucap bukan untuk melukai. Bukan juga menjadi alasan untuk melukaiku. Aku hanya perempuan biasa, yang punya hati dibalik kemegahan kerasionalanku. Dibalik kegagahanku sebagai manusia luar biasa. Setitik pengertian saja… Jika kau melihatku dan ingin meninggalkanku. Jangan pernah kau berucap didepanku. Lepaskanlah…. Jangan pernah sakiti. Cuma air mata yang akan tumpah. Tanpa mampu aku berucap. Tanpa mampu aku berikrar. Sudah kujelaskan dengan jujur semuanya. Sudah kukatakan bahwa aku kesepian. Hanya i

Surat untuk Sahabat Lama

Gambar
  (ungkapan kecil, ini sudah lama terpendam) Saat menuliskan surat ini aku diselingi beberapa lagu, yang akhir-akhir ini seringkali menjadi warna dalam hidupku. Lagu Sherina terbaru, pergilah kau juga ikut menemaniku. Lagu ini bukan cerita tentang siapapun. Aku hanya menyukai suara penyanyinya yang merdu. Aku jadi mengingat beberapa kemarahanku kepadamu. Aku tau, dalam kemarahan yang pernah kau luapkan padaku, menjadi sangat bias dan tak terlukis dengan baik. Aku tak tau apakah  itu semua karena kedalaman perasaanmu padaku. Ataukah karena kau tak mampu melukiskannya dengan baik. Aku hanya ingin bilang tak ada lagi perasaanku. Perasaanku tentang kamu. Kalimat yang sering kuucapkan kepada semua orang yang kusayang. Dan pernah kau cemburui dengan sangat dan tak boleh aku ungkapkan kepada semua orang.  Aku tak mau lagi mengingat itu. Itu tentang aku, bukan tentang kalimat yang tak kau sukai. Ini sungguh berbeda. --- Sungguh,  aku tak ingin la