Surat untuk Sahabat Lama


 (ungkapan kecil, ini sudah lama terpendam)

Saat menuliskan surat ini aku diselingi beberapa lagu, yang akhir-akhir ini seringkali menjadi warna dalam hidupku. Lagu Sherina terbaru, pergilah kau juga ikut menemaniku. Lagu ini bukan cerita tentang siapapun. Aku hanya menyukai suara penyanyinya yang merdu.

Aku jadi mengingat beberapa kemarahanku kepadamu. Aku tau, dalam kemarahan yang pernah kau luapkan padaku, menjadi sangat bias dan tak terlukis dengan baik. Aku tak tau apakah  itu semua karena kedalaman perasaanmu padaku. Ataukah karena kau tak mampu melukiskannya dengan baik.

Aku hanya ingin bilang tak ada lagi perasaanku. Perasaanku tentang kamu. Kalimat yang sering kuucapkan kepada semua orang yang kusayang. Dan pernah kau cemburui dengan sangat dan tak boleh aku ungkapkan kepada semua orang.  Aku tak mau lagi mengingat itu. Itu tentang aku, bukan tentang kalimat yang tak kau sukai. Ini sungguh berbeda.

---

Sungguh,  aku tak ingin lagi kau bohongi.

Dan aku yakin jika kalimat ini kau tau, kau tak pernah merasa bersalah dengan semua ini. Kau meninggalkanku ke kota impianku. Dan kau mengaburkan mengenai kota impian. Kau mengaburkan mengenai pilihanku melanjutkan sekolah. Itu semua karena perasaanmu terhadapku. Terhadap mataku yang selalu kau takuti.

Sebelum kau pergi, kau pernah menjanjikan pagi yang indah denganmu. Di sudut Dieng dengan tiga dimensi yang pernah aku ceritakan. Ataupun di sudut keajaiban dunia yang selalu kau tawarkan padaku. Aku muak dengan itu.

Kau juga pernah menjanjikan mengajarkanku mencintai malam. Waktu yang tak terlalu aku sukai, karena malam menurutku selalu berbohong. Dan tak pernah memberiku sesuatu yang lebih. Malam adalah pekat. Dan benar, diciptakan bukan untuk dibedakan, tapi aku membedakannya karena aku. Bukan karena warisan turun menurun mengenai malam. Atau konsepmu mengenai kekurangan waktumu terhadap hidup.

Aku juga tak pernah melukaimu. Aku melakukan yang terbaik untukku. Walau kutau kau terluka. Aku tak pernah menginginkan terluka, tapi kenyataan berkata lain. Saat itu, aku hanya ingin kau merengkuhku dan mengejarku saat aku menangis. Tetap disini. Dan semua yang aku inginkan. Aku hanya ingin kau disini, dan tetap menungguku dengan kalimatmu. Menyayangiku dengan kalimat yang ingin kudengar. Menemaniku menulis dan menutup tempat tulisanku ketika aku terlelap. Serta belajar meminta maaf ketika aku sesenggukan. Namun itu tak kau lakukan. Kau meninggalkanku.

Dan ketika aku tau kau bersamanya, aku biasa saja. Itu bukan suatu masalah. Aku hanya butuh kau mengatakan maaf saat itu.

---
Saat kau pergi, aku terduduk di sudut kamarku. Memeluk beberapa temanku dan mereka memberiku buku berjudul ‘emotional blackmail’ yang hingga saat ini tak ingin kubaca. Saat itu aku tersadar. Tatapanmu, tulisanmu, rengkuhanmu saat aku menangis hanya buaian semata. Pengakuanmu atas keindahanku hanyalah alasanmu untuk mendapatkanku secara utuh. Kebohongan itu terasa sangat menyayat rasa yang terdalam. Aku sedang mengakhirinya sekarang.

Ingatkah kau ketika subuh menjelang, kau menuliskan surat untukku, padahal saat itu kemarahanku meluap. Kau meredakannku dengan mengetuk pagi yang tak pernah kau sukai. Bukankah kau tak pernah menyukai pagi? Kamuflase kecintaanmu terhadap pagi adalah sebuah representasi seekor kelinci yang ada pada dirimu. Aku muak mendengar itu.

Simpanlah semua ini baik-baik. Jangan ganggu aku sekarang. Jika kau Tanya kabarku. Aku baik-baik saja. Dan itu lebih dari cukup dari yang ingin kau ketahui. Aku telah kehilangan sahabatku ketika kau mengetuk perasaan terdalamku.

Aku tak sanggup lagi menuliskan kemarahanku denganmu dulu. Cukup ini saja. Dan jangan pernah kau suruh aku mengganti panggilanmu. Karena aku mengenalmu dengan nama itu.


Pluto, 22 Agustus 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil