Surat untuk Kartini

Pluto, 31 Oktober 2010


Dear Kartini,
Aku hanya memandangi semua foto dengan tersenyum. Setidaknya sedikit kepuasaan dari apa yang kulakukan. Apa yang pernah kuinginkan, pernah kulakukan dan pernah kutinggalkan pada deretan jutaan pixel yang ada.

Kehilangan itu sesuatu yang pasti. tapi ini bukanlah dari sebuah akhir. Ini sebuah awal yang baru. Menjadi manusia baru dan tetap menjadi sesuatu yang tak ingin ditinggalkan. Seoonggok surat-surat lahir. Kesemuanya bernafas mengenai kesetaraan. Semuanya memandang dan menginginkan kesetaraan, hingga seluruh jiwa yang ada diserahkan sepenuhnya. Ini lahir, bukan hanya dari pengalaman saja. Tapi ini lahir dari perahan-perahan keringat yang menyucur. Lahir dari pertengkaran-pertengkaran kecil yang seru. Lahir dari ejekan-ejekan atas pilihan yang lain. Hingga akhirnya memilih lagi.

Saat surat-suratmu terkirim ke Julia Kristeva, aku serasa menjadi dirimu. Kembali ke abad lampau, dan membayangkan bahwa saat itu hidup lebih keras dari saat ini. tapi kau mampu memecahkan beberapa pemikiran-pemikiran kritis. Beberapa peikiran kritis setahun yang lalu kugunakan dalam penelitian skripsiku mengenai film. Tapi saat itu aku belum mengetahui bahwa ada sumbangan pemikiranmu dalam pemikiran kritis itu. Sebenarnya aku menuliskan skripsiku tidak sekeren kau menuliskan surat-suratmu. Saat itu aku masih meraba-raba mengenai pemikiran-pemikiranmu. Sungguh, ini sebuah harapan baru.

Itulah awalnya. Ketika aku mencari dan aku akhirnya jatuh cinta dengan dunia ini. Dunia yang mentujukan kesetaraan sebagai tujuan yang paling tinggi. Dunia yang kau garap dengan peluh air mata kukungan atas diri, tubuh dan pikiran.

Kartini, aku begitu suka memanggilmu tidak dengan penggalan nama. Karena ketika aku memanggil namamu utuh, maka ketika itu aku melihat semangat-semangat lainnya muncul dan aku dapat memiliki pemikiran-pemikiranmu utuh.

Oya, aku membaca romannya Pramudya, Pramudya menyinggung beberapa kali bahwa kau tak pernah membahas feneomena kekejaman Deandles dalam pembuatan jalan dari Anyer hingga Panarukan. Jalan yang juga sering kau lewati kata Pram. Padahal ada cucuran darah beribu nyawa disitu. Aku belum menemukan jawabannya, kenapa kau tak membahas itu kala itu. Asumsi-asumsi baru muncul dipikiranku kala membaca roman itu. Mungkin saja surat-suratmu hilang. Atau sengaja disortir karena kecintaannmu terhadap ayahandamu Kartini. Bukankah begitu? Yah mungkin saja, aku belum menemukan. Mungkin saja ini prosesku selanjutnya. Menemukan lebih banyak roh-roh lainnya.

Kartini, satu tahun begitulah adanya. Aku belajar banyak hal. Tentang perasaan cinta, tentang kehidupan, tentang ketubuhanku sebagai satuan intergral dalam jiwaku. Tentang melakukan dengan hati, tentang merasai dengan hati, tentang melihat dengan mata hati. Sungguh, sepenggal surat-suratmu meruntuhkan keegoanku.

Banyak hal lagi yang terjadi dalam satu tahun terakhir ini. masa demi masa aku lewati dengan mengingat namamu. Bahwa keegoanku akan runtuh ketika aku melakukan apa yang sesuai dengan kata hatiku. Setahun ini aku melakukan banyak hal. Banyak sekali aku ketahui mengenai kehidupan perempuan-perempuan masa kini. Sepertinya saat ini, kita mendapatkan tempat yang lebih baik dari masamu dulu. Tapi kenyataannya lain Kartini. Dibalik kemegahan gaung pemberdayaan perempuan, aku banyak menemukan kaum kita masih berlindung dibawah kekejaman feodalisme dirumah sendiri.

Tubuh kita masih dijadikan alat, dijadikan kecaman Kartini. Setahun itu aku mempelajari dengan sungguh-sungguh bagaimana melihat ini semua. Melakukan sesuatu untuk mereka hingga aku kadang tak memperdulikan bagaimana perasaanku sendiri. Entah ini sebuah kemajuan atau kegagalan. Tapi aku merasakan menjadi aku. Aku menggunakan tubuhku dengan hatiku. Aku menggunakannya untuk melihat perempuan-perempuan lainnya.

Kartini, aku bingung meruntutkan bagaimana aku belajar banyak hal satu tahun ini. mengenai rumah perempuan, mengenai hati perempuan, mengenai etika perempuan. Mengenai keseluruhan kehidupan perempuan. Sungguh suatu hal yang indah Kartini. Setiap jalanan yang kulewati menjadi sebuah pembelajaran yang sangat penting bagi hidupku. Aku mulai mampu memotong kalimat-kalimat panjangku ketika aku menjelaskan bagaimana keadaan perempuan-perempuan yang kutemui. Aku mampu mengungkapkan bagaimana kelaparan, kesedihan, kepiluan dan duka yang mendalam menghantui kehidupan beberapa perempuan-perempuan seperti kita. perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan hebat juga dalam hidupnya. Yang berani melawan untuk hidupnya, yang berani menolong hidupnya baru menolong orang lain.

Ada juga beberapa laki-laki yang kutemui dengan ikhlas melakukan apa juga yang kulakukan. Menghargai setiap gerakku dan perempuan-perempuan lain dalam keterbatasan. Kehidupannya digunakan untuk menolong perempuan lainnya. Serta tidak ikut menghakimi ketubuhan perempuan. Laki-laki itu, laki-laki biasa saja.

Sungguh, dunia ini menjadi dunia yang membuat aku belajar banyak hal mengenai kehidupan. Kartini, aku akan meninggalkan dunia ini. Tak terasa, aku mengambil pilihan cukup aneh dalam hidupku. Tapi inilah hidup menurutku. Kita tak tau apa yang terjadi esok. Tapi kita berusaha menjadi yang terbaik. Begitu juga aku. Aku melakukan yang terbaik, semampu yang aku bisa. Tapi aku sadar, ini bukan sebuah akhir. Mungkin saja ini awal Kartini.

Kutunggu surat-suratmu yang lain. Aku ingin kau menceritakan bagaimana kehidupanmu kala itu. Mungkin saja surat ini kelihatan aneh. Ya, tak juga begitu bagiku. Ini pembicaraan kita, jangan kau sampaikan dengan ayahandamu. Aku tau kau mencintainya melibihi kau mencintai ibumu. Dialah ruang-ruang kosong yang mampu memenuhi kebutuhanmu.

Mungkin itu bedanya kita. Aku mencintai ibuku melebihi aku mencintai tubuhku. Apapun keadaannya. Apapun alasannya. Tak mengapa bagiku, kita hidup dari keluarga yang berbeda. Kita mencintai hal yang sama, sama-sama manusia yang sesungguhnya.


Love, 
Angger Wiji Rahayu

Komentar

Awang Sampurna mengatakan…
Wanita, wanita...

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil