Surat Kedelapan


Aku ingin dikejar ketika aku berlari. Aku ingin ditanya kenapa aku pergi. Atau dipeluk ketika aku pergi. Ditanya kabar ketika aku pergi. Ini bumi milikku.

Tak juga begitu. Kadang itu hanya perasaan ketika kita sedih saja. Ketika semua daya hanya dianggap sebagai pelampiasan saja. Dianggap tak berarti, apalagi bermakna. Tenang saja, itu tak harus begitu. Kita akan menangis ketika kehilangan. Bisa satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan satu tahun. Namun, Tuhan menciptakan satuan itu, untuk menguji kita. Setelah itu, kita akan sekuat baja. Karena bermakna benar-benar tak baik untuk kita.

Kesedihan dan kebahagian hanyalah selaput dara tipis. Kadang aneh, kesakitan dimaknai sebagai kebahagiaan. Kecenderungan-kecenderungan akan tak terduga ketika hati terpaut hilang. Kelaparan, tangisan akan menjadi satu. Terasa sungguh lain dari biasanya. Air mata bukan terasa asin lagi. Karena dia kelelahan hingga terasa campa. Tulisan-tulisan indah serasa lebur. Tak berbekas. Karena hanya kata-kata singkat yang kita butuhkan.  

Perpisahan memang tak diinginkan. Apapun alasannya. Namun kadang, luka, kesedihan harus dihadapi dengan perpisahan. Hilang semua. Kebaikan akan diruntuhkan hanya dengan kelukaan setitik saja. Ketulusan kadang terluput dari makna. Hanya menguap saja, karena dirasai makna yang paling nyata. Perpisahan kadang tak diduga. Hadir ketika kita bahagia. Hadir ketika kita tak bersedih. Inilah adanya. Semoga itu tak begitu.




---

Jika saat ini aku menangis. Mungkin tidak untuk hari esok. Jika hari ini aku tertawa tidak juga kita duga hari esok. Ini tentang cinta. Tidak dapat dirasa hanya dengan diam. Khilaf, kemarahan, emosi, cemburu dalam cinta seharusnya dimaknai bukan pada makna paling nyata. Karena kekuatan hati yang seharusnya paling dimengerti.

Hidup tidak hanya sekali. Berkali-kali. Waktu kita merasa mati. Maka waktu kita bangkit, berarti kita hidup lagi. Bukankah begitu? Kematian juga akan menimbulkan kehidupan lain, di alam lain.

Yakinlah pada hatimu dahulu. Yakinkan aku bahwa itu hatimu dahulu. Yakinkan padaku bahwa ketika hatimu tak ingin bersamaku lagi. Berarti begitu juga hatiku. Rasa sayang, rasa cinta itu tak akan pernah hilang. Rasa itu hanya begitu adanya, ada di setiap tubuh manusia. Tapi jodoh ada di tangan kita. Tuhan hanya menjanjikan hidup berpasang-pasangan. Pasangan hidup tetap kita yang memilih. Sudah kubilang hanya laki-laki biasa saja.

---

Kalimat ‘kita’ dalam konsep kesetaraan bukan hanya bermakna sedikit saja. Karena di dalamnya ada pembagian peran yang sangat nyata. Peran menjadi ibu, menjadi ayah. Peran menjadi anak. Ataupun peran menjadi teman. Karena pasangan hidup adalah sahabat yang sesungguhnya. Bukan hanya teman biasa. ketika kita menangis, ketika kita kehilangan dia akan mengusahakan sesuatu agar kita bahagia. Walau hanya dengan secarik kertas lusuh yang dia berikan.

Aku juga begitu. Titik kulminasi sedang berada pada hidupku. Lingkaran-lingkaran sedang menari-nari di pelupuk mata. Hanya ada keluarga dan sahabat saat ini. tapi mereka kekuatan unlimited. Mereka hadir. Membawaku ke sebuah bukit diatas, dan membiarkan aku berteriak sekuat tenaga. Membiarkan aku menangis sejadi-jadinya. Lalu memberiku setitik pengertian, bahwa aku adalah sahabat. Walau bukan pasangan hidup. Aku sejarah keberartian dalam perjalanan seorang sahabat.

Lingkaran-lingkaran seringkali tertawa melihatku. Mengumpat ketakberdayaanku. Tapi ini hanya makna paling nyata. Aku kuat dan bukan manusia mesin. Ataupun pribadi yang lain. Seonggok definisi lain hadir, dari seorang sahabat lain yang hidupnya sedang berantakan. Sudut lain ketika aku memandang sesosok ketulusan lain. Seorang sahabat, yang mengajarkan aku lebih memaknai kata ‘kita’ yang sesungguhnya. Ketika pasangan hidupnya juga sedang mencarinya.

Tuhan tidak mencaci makiku kali ini. Atau mendengar doaku kali ini. Karena dia sedang kerepotan mengurusi hal lainnya. Tapi aku yakin, dari seorang sahabat yang hidupnya sedang berantakan, sengaja dia turunkan untuk membuat aku menjadi manusia sesungguhnya yang memiliki hati. Dia sungguh aneh. Yang mengajarkan aku, bahwa kehilangan bukan sebuah kesakitan. Tetapi sebuah kekuatan baru, yang akan menjadi sebuah harapan baru.

Mungkin saja ini awal, mungkin saja ini akhir. Aku tak akan menduga. Karena hati hanya kau yang tau. Aku tak akan menunggumu. Karena menunggumu akan menghabiskan sepenggal hak orang lain. Jika kau akan pergi, pergilah seperti kau datang. Aku bukan manusia mesin, yang sedang mencoba membagi peran dengan pasangan hidup yang aku pilih.

Ya, dengan laki-laki biasa saja yang wujudnya aku tak tau.

Pluto, 22 Oktober 2010
07 : 17 Wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil