Surat Kesebelas


Aku seringkali memimpikan manusia-manusia feminis disekelilingku. Manusia yang memandang bahwa kesetaraan adalah jalan hidup yang sesungguhnya. Memandang kekerasan, ketidakadilan, penindasan, hagemoni sebagai suatu hal yang tidak manusiawi. Manusia yang melakukan sesuatu hal dengan mata, hati dan tindakan. Berarti manusia yang menyadari, melihat, mengalami adanya penindasan, hagemoni, diskriminasi yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut, seperti ungkapan Arimbi Heroepoetri dan Valentina mengenai definisi feminisme.

Ini suatu hal yang sulit, jarang sekali terjadi. Kadang aku bingung, dimana dapat aku temukan Manusia yang melakukan itu. Sehingga aku kadang kali menghindar dengan hal-hal seperti ini. kadangkala itu menyiksaku dengan sangat. Mengumpat satu perempuan dengan perempuan lain. Mendewakan laki-laki sebagai hal yang membuat kehidupan menjadi berwarna.

Aku sering lupa bahwa aku ataupun beberapa laki-laki dihadapanku hidup dalam lingkaran patriarki. Patriarki menekan, dan menjalar dalam kehidupan. Diproduksi secara massal, dan diyakini kebenarannya. Mungkin saja layaknya Tuhan dalam agama.

Aku juga sering lupa, proses kebertanyaan dalam kehidupan seseorang semuanya tidak sama. Pemaksaan pemikiran hanya membuat aku lelah saja. Aku sering lalai membuat metode baru agar dapat melihat dengan mata, hati, tindakan. Selama ini aku selalu merasakan bahwa melihat dengan hati adalah hal yang paling penting, tapi aku lupa bahwa mata sebagai garis utama dan tindakan sebagai interaksi utama adalah hal yang paling penting.

Seperti malam, gelap saja, tak berbintang dan seperti hujan turun, kadangkala tiba-tiba saja.

---

Benar katamu, ada yang memanfaatkan keseimbanganku dalam sistem ini. kadang aku lupa, yang kupercaya melukai hati dan pikiranku. Walupun secara fisik dia ada disekeliling jiwaku tapi dia tak dapat melihat hati dan pikiranku selama ini. untuk berkata ‘tidak’ saja kadangkala ada ketidakmampuan. Untuk melakukan setiap tindakan yang lain saja tidak mampu. Dalam kamar ini terjadi revolusi besar dalam hati. Perubahan-perubahan ini akan menjadi pilihan yang lain. Memahami kadangkala kita akan kesulitan menjawabnya. Ini masalah keyakinan saja, dan aku berusaha tenang dalam lingkungan ini.

Aku ini siap menjadi teman, siap menjadi harapan, siap menjadi tak apa-apa asal saja itu pilihanmu dalam kehidupan ketika kau ada. Proses kebercarian dalam hidup yang membuat aku sedikit agak aneh. Mungkin saja hijau kubilang kuning, mungkin saja merah kubilang maroon. Atau saja hitam dan putih kubilang bukan warna. Itu hanya pilihan dan beberapa makna yang ada. Terserah kita.

Hidup di lingkungan yang bukan menjadi harapan akan membuatku semakin terasing saja. Tapi ini masalah keyakinan yang aku temui. Bukan Islamisasi yang dipaksakan oleh orang tuaku saja. Ada keyakinan lain yang kutemui tentang Tuhan, tujuan hidup dan harapan-harapan kedepan.

Mungkin saja Tuhan kita berbeda satu sama lain. Kita pasti pernah membayangkan bagaimana rupa Tuhan yang ada. Apakah bulatan, berbentuk kotak, atupun tak dapat dilihat sebagai angin. Dan kita tetap menyakininya walupun bentuknya tak sama.

Oh ya, inilah realita hidup di lingkungan yang aneh. Merah tetap saja merah, tak dapat berubah warna menjadi maroon. Hijau tak bisa kubilang kuning. Apakah warnapun tidak biasa didefinisikan lain. Ataukah menjadi buta warna juga keanehan dalam hidup ini.


---

Ketika sang perjalanan memasuki gerbang, ada keanehan tersendiri didalamnya. Serasa aku ingin memutar kembali ke ruang yang membuat aku ada. Sebelum memacu perjalananku, aku hanya duduk di kursi dan melihat semua aktifitasnya yang dibuatnya semakin cepat. Mungkin saja nanti aku hanya bisa diam. Tak menikmati ini. tapi inilah kenyataannya, ketika aku pulang aku tetap menemukan rumahku.

Dengan segala kehidupan dan jiwanya. Kehidupan laiknya seperti kehidupan lainnya. Tapi didalamnya ada manusia-manusia lain. Yang tak kuprotes ketika menjadi manusia mesin. yang tak kuprotes ketika menjadi lingkungan patriarki. Walaupun sekali-kali aku berceloteh keras dan tersedan setelahnya.

Atau mungkin, inilah pepatah belajar diwaktu kecil seperti menulis diatas batu, dan belajar di waktu dewasa seperti menulis diatas air. Hingga akhirnya aku hanya mampu tersedan mendefinisikan merah lain, kuning lain ataupun hijau lain. Banyak sekali keanehan-keanehan, yang menjadikan aku semakin aneh. Dimulai pada titik ini. inilah yang kuhadapi. Harus kuhadapi. Apapun masalahnya, mungkin saja ini juga awal lainnya.

Menjadi feminis dan mulai mengakuinya.




Pluto, 29 November 2010



Surat Kesebelas

Aku seringkali memimpikan manusia-manusia feminis disekelilingku. Manusia yang memandang bahwa kesetaraan adalah jalan hidup yang sesungguhnya. Memandang kekerasan, ketidakadilan, penindasan, hagemoni sebagai suatu hal yang tidak manusiawi. Manusia yang melakukan sesuatu hal dengan mata, hati dan tindakan. Berarti manusia yang menyadari, melihat, mengalami adanya penindasan, hagemoni, diskriminasi yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut, seperti ungkapan Arimbi Heroepoetri dan Valentina mengenai definisi feminisme.

Ini suatu hal yang sulit, jarang sekali terjadi. Kadang aku bingung, dimana dapat aku temukan Manusia yang melakukan itu. Sehingga aku kadang kali menghindar dengan hal-hal seperti ini. kadangkala itu menyiksaku dengan sangat. Mengumpat satu perempuan dengan perempuan lain. Mendewakan laki-laki sebagai hal yang membuat kehidupan menjadi berwarna.

Aku sering lupa bahwa aku ataupun beberapa laki-laki dihadapanku hidup dalam lingkaran patriarki. Patriarki menekan, dan menjalar dalam kehidupan. Diproduksi secara massal, dan diyakini kebenarannya. Mungkin saja layaknya Tuhan dalam agama.

Aku juga sering lupa, proses kebertanyaan dalam kehidupan seseorang semuanya tidak sama. Pemaksaan pemikiran hanya membuat aku lelah saja. Aku sering lalai membuat metode baru agar dapat melihat dengan mata, hati, tindakan. Selama ini aku selalu merasakan bahwa melihat dengan hati adalah hal yang paling penting, tapi aku lupa bahwa mata sebagai garis utama dan tindakan sebagai interaksi utama adalah hal yang paling penting.

Seperti malam, gelap saja, tak berbintang dan seperti hujan turun, kadangkala tiba-tiba saja.

---

Benar katamu, ada yang memanfaatkan keseimbanganku dalam sistem ini. kadang aku lupa, yang kupercaya melukai hati dan pikiranku. Walupun secara fisik dia ada disekeliling jiwaku tapi dia tak dapat melihat hati dan pikiranku selama ini. untuk berkata ‘tidak’ saja kadangkala ada ketidakmampuan. Untuk melakukan setiap tindakan yang lain saja tidak mampu. Dalam kamar ini terjadi revolusi besar dalam hati. Perubahan-perubahan ini akan menjadi pilihan yang lain. Memahami kadangkala kita akan kesulitan menjawabnya. Ini masalah keyakinan saja, dan aku berusaha tenang dalam lingkungan ini.

Aku ini siap menjadi teman, siap menjadi harapan, siap menjadi tak apa-apa asal saja itu pilihanmu dalam kehidupan ketika kau ada. Proses kebercarian dalam hidup yang membuat aku sedikit agak aneh. Mungkin saja hijau kubilang kuning, mungkin saja merah kubilang maroon. Atau saja hitam dan putih kubilang bukan warna. Itu hanya pilihan dan beberapa makna yang ada. Terserah kita.

Hidup di lingkungan yang bukan menjadi harapan akan membuatku semakin terasing saja. Tapi ini masalah keyakinan yang aku temui. Bukan Islamisasi yang dipaksakan oleh orang tuaku saja. Ada keyakinan lain yang kutemui tentang Tuhan, tujuan hidup dan harapan-harapan kedepan.

Mungkin saja Tuhan kita berbeda satu sama lain. Kita pasti pernah membayangkan bagaimana rupa Tuhan yang ada. Apakah bulatan, berbentuk kotak, atupun tak dapat dilihat sebagai angin. Dan kita tetap menyakininya walupun bentuknya tak sama.

Oh ya, inilah realita hidup di lingkungan yang aneh. Merah tetap saja merah, tak dapat berubah warna menjadi maroon. Hijau tak bisa kubilang kuning. Apakah warnapun tidak biasa didefinisikan lain. Ataukah menjadi buta warna juga keanehan dalam hidup ini.


---

Ketika sang perjalanan memasuki gerbang, ada keanehan tersendiri didalamnya. Serasa aku ingin memutar kembali ke ruang yang membuat aku ada. Sebelum memacu perjalananku, aku hanya duduk di kursi dan melihat semua aktifitasnya yang dibuatnya semakin cepat. Mungkin saja nanti aku hanya bisa diam. Tak menikmati ini. tapi inilah kenyataannya, ketika aku pulang aku tetap menemukan rumahku.

Dengan segala kehidupan dan jiwanya. Kehidupan laiknya seperti kehidupan lainnya. Tapi didalamnya ada manusia-manusia lain. Yang tak kuprotes ketika menjadi manusia mesin. yang tak kuprotes ketika menjadi lingkungan patriarki. Walaupun sekali-kali aku berceloteh keras dan tersedan setelahnya.

Atau mungkin, inilah pepatah belajar diwaktu kecil seperti menulis diatas batu, dan belajar di waktu dewasa seperti menulis diatas air. Hingga akhirnya aku hanya mampu tersedan mendefinisikan merah lain, kuning lain ataupun hijau lain. Banyak sekali keanehan-keanehan, yang menjadikan aku semakin aneh. Dimulai pada titik ini. inilah yang kuhadapi. Harus kuhadapi. Apapun masalahnya, mungkin saja ini juga awal lainnya.

Menjadi feminis dan mulai mengakuinya.




Pluto, 29 November 2010



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil