Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

Di Tengah Kangen

Aku sakit lagi. Ini untuk ketiga kalinya aku sakit setelah sore itu di teras hatiku. Air mata tak tertumpahkan lewat mata lagi. Hati pun ikut larut. Aku sakit lagi. Kuulang lagi. Untuk ketiga kalinya. Ah…ini seperti klimaks. Jika tiga kali terjadi ini adalah tanda, bahwa dunia tak berpihak pada keinginanku, tapi pada hatiku. Aku bertanya pada Tama petang itu. “Tama adakah salahku padamu?”. Tama diam saja menanggapi pertanyaanku. Aku pikir, diam adalah tanggapan Tama yang terindah. Daripada dia bicara, tapi aku tak mengerti apa maksudnya. Petang itu, aku lewati dengan Tama. Bicara dengan mesra di tengah teras hatiku. Di temani cahaya temaran malam yang syahdu. Disekeliling kami, ada orang-orang yang kusayang memperhatikan aku yang berceloteh ria. Aku tidak pernah bercerita seceria ini. Aku pikir, menggunakan sepatu merah lebih indah daripada sepatu putih manis yang kubeli di salah satu toko elite di Palembang kemarin. Ah, waktu nalarku telah hilang. Aku ceria namun aku memikir

GELISAH

Benar… Aku hanya butuh kau mengakui, bahwa kau pernah menduakan barat dan timur. Di awal Hari Kemerdekaan kita, kau nodai dengan berdusta. Aku gelisah, ketika kau berusaha jujur. Ini untuk menarikku kembali atau membuat aku di tengah-tengah barat dan timur lagi. Aku gelisah aku mengakui kesalahanmu. Tiba-tiba dia terdiam.. Satu tahun delapan bulan serasa tak bergeming dari tempatnya. Waktu menalarkan logika. Tak tersentuh olehnya. Awalnya pun dia tak tau. Tak menorehkan apa di hatinya. Namun, hatiku pilu di akhir hari Kemerdekaan. Ketika aku tiba-tiba datang dan menggantikan kedua kutub timur dan baratnya. Aku teriak, aku hanya ingin jadi timur. Bukan menggantikan barat. Dia tetap tak bergeming. Aku tersedan… Putih kini menjadi kuning. *** “apa yang salah dengan yang kulakukan?” “tak mengapa jika aku jatuh cinta” “apa yang salah dengan jatuh cinta?” Dia tetap tak menjawab. Dia merengkuh tanganku dengan keras. Mencabik mukaku di hadapan beberapa waktu yang bergulir

Chapter 3

Aku menuliskan bagian ini dengan sangat emosi dan dengan menangis. Bukankah aku juga manusiawi menangis karena hal-hal yang tak mungkin melukai hatiku? Begini awalnya. Kadang kita merasa bahwa ini adalah sebuah masalah tapi ini bukan sebuah masalah. Kadang kita merasa bahwa ini hanya semata terjadi karena kesalahan kita, tapi jika kita sadari ini bukan kesalahan kita. Kita tak mungkin sebegitu bodohnya sehingga menyalahkan diri sendiri. Bukankah ini kesalahan orang lain. Dan jangan merendahkan diri untuk kesalahan orang lain, itu akan menjebakmu. Nah, rasanya perasaan yang paling dalam ini merasuk keluar hingga sampai dasar. Hari ini, aku menyiapkan diriku pergi ke kantor. Walau dengan keadaan yang sangat sederhana, namun pagi ini kurasakan sebegitu hebatnya. Pagi menyapaku dengan terik yang indah. Aku menikmatinya hingga ke dasar kulit yang terbawah. Kubuka punggung indahku, dan kuhempaskan ke teriknya pagi. Aku rasa kulitku yang kuning kecoklatan ini akan menjadi sangat ind

Chapter 2

Vasnya pecah. Tak ada tangan yang membawanya. Bunga-bunga berhamburan layaknya air yang datang memecah. Dan aku tak mampu berfikir secara rasional lagi. Aku tak mampu mengatakan bahwa vasnya pecah. Aku tak mampu mengungkapkan bahwa aku butuh vas baru dalam ruang itu dan mencairkan ruang yang kubangun sendiri. Aku juga tak mau tau bagaimana vas itu mampu hadir kembali, karena sejatinya vas itu tak mampu kembali lagi, selain tergantikan dengan yang baru. Yah, begitulah yang terjadi. Dan itu terulang lagi. Kini vas itu telah pecah berkeping-keping. Awalnya tiada yang berubah, yang ada hanyalah skema runtutan kehidupan seperti biasa. Ada yang terulang, dan bermaksud untuk menuntun untuk tak berbalik. Namun akhirnya berbalik. Awalnya tak ada kata suka. Tak ada kata saying, namun perlahan timbul perasaan sayang. Lalu mulai tumbuh perasaan cinta, karena dia bercinta denganku dengan caranya sendiri, yang tak mampu kuungkapkan. Dan aku yang hanya mampu mengungkapkannya juga dengan caraku send

Chapter 1

Malam tak belagak seperti biasanya. Di sudut ruang ada sesosok makhluk unik ini lagi. Berdiri dan duduk disudut dengan tumpukan novel setebal mata memandang. Matanya tak liar, semuanya tak salah, namun ada seberkas didalam dirinya yang membuatku menatap pedas ke arahnya ketika malam datang. Malam-malam penuh suasana baginya, mengarungi mimpi-mimpi yang ingin digapainya. Malam juga dunia katanya, dimana separuh hidupnya dihabiskan untuk mengerjakan hal-hal yang sangat esensial. Dalam kelelahan yang sangat, dia memaksa matanya untuk melahap mentah-mentah santapan malamnya yang kadang melebihi batas. Sesekali aku menatapnya lalu aku membuang muka ke arah lainnya dan sibuk dengan kegiatanku sendiri. Lalu aku membuat air yang kukeluarkan dari gallon bercat merah, dengan mencelupkannya kedalam kertas lunak penampung daun-daun yang diiris. Sesekali juga dia menatap dan meminta daun-daun yang diiris masuk kedalam bulatan wadahnya. Dia tak pernah bereaksi. Aku hanya menaruhkan butiran kaca