Surat Kelima


Tidak ada kebohongan yang berwajah tunggal

Apapun itu. Kebohongongan selalu tak pernah sekali. Kebohongan satu dengan lainnya akan menjadi sebotol sistem yang bergelut menjadi rangkaian menyakitkan. Ini tentang kejujuran. Kebohongan dan kejujuran menjadi batas sangat tipis. Sejauh ini mereka sebuah hal yang sangat berbeda. Menjadi pilihan antara kiri dan kanan, atau depan dan belakang, atau atas dan bawah, ataupun menjadi baik dan buruk. Tapi semua hanya simbol, bukan bermaksud menstigma. Ini hanya persoalan pilihan. Tak mengapa. Tak ada yang salah. Yang ada hanya antara konsekuensi dan resiko.

Kita tak butuh mempercayai apapun itu. Kecuali dengan keyakinan yang lebih. Keyakinan membutuhkan perasaan yang mendalam. Kau tau, begitulah aku menyakinimu. Bahwa antara kebohongan dan kejujuran diciptakan untuk kita menyakini sesuatu dengan sungguh-sungguh. Jika kebohongan kau lakukan untuk menyakiniku berarti, maka bersiap-siaplah kita akan hidup dalam rangkaian kesemuan yang ada. Dan kita akan kehilangan ruh tahta keindahan mata yang tak pernah bohong.

Jika kejujuran selalu ada, maka bersiap-siaplah kau, jingga akan tetap menemani temaram. Tak berubah, seperti prediksi dalam teori alam yang pernah kubaca bahwa matahari selalu terbit dari timur dan akan tenggelam dari barat.

Aku memaknai kebohongan merupakan suatu yang gaib. Dipercaya atau tidak, kebohongan selalu ada. Dan selalu menyekutukan Tuhan. Berarti menduakannya. Sehingga membuat Tuhan seringkali murka. Aku juga sering kebingungan bagaimana caranya Tuhan murka. Bukankah dia selalu melimpahkan kasih sayangnya. Tapi begitulah gaib. Tak bisa kita ramal dengan tepat. Namun dalam ramalan Tuhan, orang-orang yang tidak jujur masuk kedalam koper yang berapi. Aku juga bingung, dimanakah letak koper berapi tersebut. Apakah dia yang menyebabkan ramalan kutub utara akan meleleh seperti dalam prediksi teori global warming jika kita tak mampu menjaga lingkungan.Kau yakin kan bahwa kebohongan akan menimbulkan keanehan-keanehan yang tak kita duga. Mungkin saja koper tersebut akan mencair ataupun meleleh atau hanya akan membakar. Hanya Dia saja yang tau.

Seperti kutub utara dan selatan. Sama namun berbeda tempat. Mungkin begitu.

---

Untuk menutupi satu kebohongan dengan satu lainnya kadang membuat kita kehilangan energi. Seperti membelah kelapa muda untuk menentukan anak laki-laki atau perempuan yang akan lahir dalam acara mitoni (tujuhbulanan adat Jawa). Suatu bentuk hal yang aneh. Mana bisa anak diprediksi dengan membelah kelapa. Apa hubungannya antara kelapa dengan anak. Apakah kelapa ikut andil ketika prosesi berpencarnya sperma mengejar sel telur?

Inilah hal yang menghilangkan energi tapi kita semua gandrungi. Bahkan dilakukan secara turun temurun. Semua akan terlibat masuk merasuk ke dalamnya. Manusia, adat bahkan sistem dan agama juga akan tergadai kedalamnya. Dia akan masuk dan memencarkan cahaya menyekutukan ke ruh kecil yang hidup di dalam rahimnya. Menjadi sangat mengerikan. Padahal kehidupan baru akan muncul setelah itu.

Setelah itu, ruh kecil dari hasil berlarinya kecebong ekor sperma tersebut juga akan mengimitasikan dirinya sedari dini. Lalu kita akan mematri dalam kerapuhannya bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kutukan seperi riwayat malin kundang. Bukankah itu sebuah alibi juga? Bukankah akhirnya secuil kebohongan akan meregenerasi kedalam setiap sendi-sendi sumsum tulang belakang.

Kesedihan, keharuan, luka yang menganga, sebuah kompleksitas kehidupan akan muncul setelah itu. Setelah kita merampungkan prosesi kecil yang mencuil pikiran kita. Akhirnya semua yang ada disini terabaikan. Hingga ada wajah-wajah menyekutukan Tuhan.

Aku hanya mengistilahkan, dengan hati. Karena aku belajar, karena aku terlukai oleh itu. Karena aku lahir dengan itu. Karena aku ada dengan kebahagiaan, tapi ruh meniupkan aku untuk mencari kebenaran. Karena aku hidup dengan segenap cinta yang terlukai. Hingga aku mampu mengistilahkan dan aku tertatih-tatih untuk tetap berwajah tunggal. Untuk tetap mengatakan dengan hati. Aku harus jujur dan apa adanya.

---
Tubuhku tak mampu berbohong…

Bahwa aku tak sanggup lagi. Bahwa aku benar-benar rapuh. Bahwa aku manusia biasa, yang juga mampu terluka. Aku bukan manusia mesin, yang mampu bergerak jika aliran listrik mengalir. Atau bergerak hebat dalam keadaan bersedih. Tertawa dalam kehilangan. Aku benar-benar hanya manusia biasa, bukan manusia mesin.

Tapi tak ada yang mengerti, karena aku dipandang manusia mesin, yang aku tak mampu menjelaskannya. Walau aku teriak aku bukan manusia mesin. Yang tak merajuk jika hatiku terluka. Yang hanya diam jika perutku lapar. Yang tak kesakitan ketika hujan menerpa, ketika panas menyengat kulit. Yang hanya menjalankan tanpa mampu berpendapat di rumahku sendiri.

Ucapku mampu membungkam itu, tapi tidak dengan tubuhku, ragaku. Dia yang tak pernah bohong. Dia yang tak pernah melukai secuilpun, walau itu dianggap melukai. Inilah tubuhku. Dalam setiap rongganya menunjukkan bagaimana aku. Apakah aku akan hidup dalam kebohongan ataupun tidak.

Harus kutegaskan, bahwa aku bukan manusia mesin. Aku punya elemen lain untuk melengkapi hidupku. Dan sudah seluruh daya kukerahkan untuk tidak memberi ruang menyekutukan Tuhan. Bahwa aku bukan manusia mesin. yang juga akan menangis ketika aku sadar aku tak melakukannya dan tak berbohong, secuilpun…

Ketika aku ingin bersimpuh dikaki orang yang melahirkanku dengan segenap daya. Tapi tetap tersenyum menerimaku kembali dalam ketakberdayanku sebagai manusia biasa. Andaikan kudapat mengungkapkan, bahwa aku bukan manusia mesin seperti dikakinya pada seluruh dunia. Mungkin aku akan lebih baik hari ini.

Pluto, 14 Oktober 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil