Surat Ketujuh



Biarkan hatiku tetap begini, lalu biarkan juga tubuhku tak pernah berbohong, agar aku mampu membuat perempuan-perempuan percaya pada hati juga pada tubuhnya

Ruangan ini menjadi saksi bagaimana aku berproses. Bagaimana aku pernah tersedan karenanya, bagaimana aku pernah tertawa ketika memilih bercak ungu didindingnya. Bagaimana aku pernah berpeluh keringat menghadapinya dengan cinta, dengan segenap hatiku. Ini bagian yang paling sulit. Ketika aku ingin dan aku tak mampu melakukan dengan segenap hati, dengan sepenuh perasaan yang sulit kuungkapkan.

Biarkan saja hatiku begini. Biarkan saja aku teguh dan kuat menjalani ini semua. Biarkan saja aku tertatih-tatih. Agar aku mampu membuktikan bahwa aku perempuan sejati. Perempuan yang bertanggungjawab atas pilihan-pilihannya. Perempuan yang bertanggungjawab ketika tubuhku berkata tidak. Ketika tubuhku berkata tak ingin berbohong.

Sudah kubuktikan aku mampu. Sudah kukatakan aku sanggup. Beri aku ruang, beri aku kepastian bahwa aku adalah bagian. Bukan hanya seonggok biologis yang hanya mampu memberi ruang pada ruh, tapi tak pernah dinikmati dengan cinta. Bukan hanya dianggap sebagai tangan kiri yang dikatakan tak baik, padahal tak berhubungan. Kelaziman hanya alat untuk memperdaya sesuatu. Untuk tidak pernah melihat dengan hati dan cinta.     

Air mataku sudah tumpah dan menguap ketika terik matahari menantangnya. Aku hanya mampu bersuara dan tak berbohong. Bahwa aku bukan manusia mesin. Hanya itu saja. Setitik penghargaan saja mengenai diri. Setitik pengertian saja mengenai kalimat yang kuungkapan, seperti kebutuhan dasar manusia menurut Maslow.

Mungkin Maslow melewati ini juga sebelum teori ini keluar.

---

Biarkan hatiku tetap begini. Seperti adanya. Ada nafas yang berbicara, ada mata yang memandang dengan lain. Atau tubuh yang bersuara lantang. Biarkan dia tetap begini. Karena dia begitulah adanya. Setiap cerita dalam tubuhnya adalah sesuatu yang tak dapat dijangkau dengan tangan saja.

Biarkan saja begini. Mendengar untuk belajar. Bersuara untuk memperjuangkan. Dan menuangkan dalam abjad-abjad untuk mengatakan yang sesungguhnya. Sungguh tulisan-tulisan ini bermakna. Bukan hanya tentang perasaan subjektif saja. Tetapi tentang rasa perempuan-perempuan dunia dalam memandang bumi gemaripah loh jinawi ini. setiap abjadnya menyunggingkan senyuman lain.

Ketika dia berjalan, seluruh tubuhnya akan mengatakan yang sesungguhnya. Mengatakan rasa yang paling dalam mengenai hidup. Tersenyum bukan berarti kebahagiaan. Melirik bukan berarti tak menyukai. Menyentuh bukan berarti ingin memiliki. Tapi inilah makna sesungguhnya dalam tatanan kedua teori Barthes, konotasi. Bukan makna yang paling nyata dari tanda. Jika representasi yang dia jawab, maka makna akan menjadi manusia yang sama. Seperti ungkapan Barthes,

‘Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes dalam Sorbur, 2006:15)’

Begitu juga memaknai perempuan. Bukan pada makna yang paling nyata.

---

Negeri ini milik kita. Segenap manusia yang ada. Kita hanya mematok bagian mana yang kita miliki. Lalu dapat menggadaikannya dengan sistem mata uang yang berlaku serta kursi tahta yang sangat ditakuti. Bukankah suatu yang aneh. Milik kita, tapi kita tak dapat menikmati hanya demi sistem mata uang yang kita sepakati bersama. Kala itu aku belum lahir. Mungkin ketika tragedi pembunuhan pertama dalam dialog kain dan sabil, kita tak ikut menonton. Sehingga kalimat-kalimat kritik tak dapat kita ungkapkan. Yang ada hanyalah penerimaan mentah-mentah. Ketika pada akhirnya ada kedustaan, kita tak pernah kembali ke filosof yang paling dasar. Bahwa ini hasil konsensus, dan dapat dirubah. Karena kita manusia. Bukan Tuhan.

Ini negeri gemaripah loh jinawi. Dapat kuandaikan bahwa setiap tangan yang menyebar benih akan tumbuh tunas-tunas yang bermekaran. Tapi tidak begitu jadinya. Kita kekurangan makanan. Busung lapar, pengangguran, kelaparan hanyalah makna paling nyata. Tapi pada tanda konotasi kita akan melihat pemisikinan sitematik, penggadaian harga diri merupakan makna dari negeri gemaripah loh jinawi ini.

Negeri ini milik kita. Utuh. Tapi kita tergadai di dalamnya. Begitu juga perempuannya. Tubuhnya tergadai dengan konsensus, dipersalahkan karena mempunyai payudara. Dipersalahkan karena punya lubang vagina dan selaput dara. Dipersalahkan karena punya rahim. Dipersalakan jika tak mampu memberi keturunan. Sungguh aneh negeri ini. Negeri sangat peduli dengan urusan ketubuhan perempuan. Tapi soal kekerasan terhadap perempuan, pemiskinan, pengadaian harga diri seolah-solah urusan yang dapat diselesaikan dengan sosialisasi saja. Sungguh ini negeri seronok.

Umpatan-umpatan untuk tubuh perempuan merupakan representasi dari sebuah harga diri yang sangat rendah. Dan biarkan tubuhku begini. Biarkan dia tetap pada adanya, agar aku tetap mempunyai ruh, nafas dan telinga yang benar-benar tau.

Kesedihan dan kehilangan atas definisi tubuh dirumah sendiri itu pasti. Tapi inilah bagian dari perjuangan. Caraku berbeda. Sungguh lain. Tapi aku menghargai setiap tubuh-tubuh lainnya yang bukan pula mesin.

Pluto, 20 Oktober 2010
22 : 09 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil