Surat Kesembilan


‘Orang berkarakter tidak akan gagal menerima segalanya’ (Dumbledore)

(Seperti ungkapan Dumbledore kepada Harry Porter dalam suatu sceen di serial terakhirnya. Begitu juga dengan kita manusia. Bahwa kita punya karakter masing-masing yang akan membuat dunia lebih berguncang)

Manusia mesin dalam gambaranku

Akhir-akhir ini kalimat ‘manusia mesin’ seringkali bercokol dalam hidupku. Bukan hanya ketika aku menulis surat-surat ini. Istilah itu menjadi begitu familiar ketika aku duduk di sudut kayu. Aku duduk dan dia mengetukku, hingga akhirnya aku menemukan istilah itu di salah satu sudut kakinya. Tulisannya mungkin begini  ‘sedang musim manusia mesin’. Kebingungan-kebingunganku mucul ketika tulisan ini menyentil kakiku. Kalimat ‘sedang musim’ menjadi begitu menggelitik sekali. Dia menggerak-gerakkan ekornya. Lalu dia memanggilku.

‘hai, kau tak tau aku kan? Tapi kau akan menjadi seperti aku suatu kala. Suatu kala ketika kau tak mau lagi merasai.’

‘apa maksudmu? Siapa kamu?’ aku pura-pura berani kala itu, dengan tersenyum manis

‘aku dikutuk. Karena aku tak pernah bersedih, aku hanya mampu berbohong’ ungkapnya pilu

‘lalu bagaimana kau disini?’

‘waktu itu kau melihat laut tumpah, sebenarnya aku berada disitu. Kau berteriak, sehingga aku masuk ke dalam pita suaramu. Aku menunggumu mengatakan siapa aku’

‘akhirnya aku terjerat ke kutukan lain, menjadi penghuni kaki sudut kayu ini, yah begitu adanya’

‘bagaimana aku bisa menolongmu?’ tawaran bingungku sebenarnya

‘kau cukup jangan menjadi manusia mesin’

Waktu itu aku terdiam. Dan dia tak menjawab apa-apa lagi ocehan-ocehanku. Dia bisu kala itu. Aku menceritakan ulang mengenai laut tumpah kepadanya. Dan aku menceritakan beberapa rahasiaku kepadanya ketika aku menuju laut tumpah sebelum dia menumpang di pita suaraku, tapi dia tetap diam saja. Aku bingung untuk redefinisi kalimat manusia mesin.

Aku bertanya kepada malam, yang kuanggap setelahnya juga adalah manusia mesin. Dalam kebingungan mengenai definisinya, aku melewati masa-masa romantisme bersama malam. Aku tak sengaja menginjak kakinya, dan menekannya hingga kuat-kuat. Sebenarnya itu kesengajaan. Karena aku marah dia hanya diam. Tapi bukan kemarahan balik yang kudapat. Malam semakin membiarkan aku menarik kakinya yang kuhimpit keras-keras. Dan mengajakku setengah berdansa. Padahal kutau kakinya kesakitan. Mungkin dia menutupi kesakitan untuk mendapatkan moment ini (kutau kala itu, malam pernah jatuh cinta pada setengah bola mataku yang coklat, pada setengah rok batik coklatku yang hilang. Tapi aku tak begitu kala itu. Aku hanya ingin mencuri setengah kemanjaan pada sudut kayu coklatnya). Aku hanya berpikiran setengah nakal saja. Kebutuhanku mengenai redefinisi manusia mesin menjadi utama.

Aku memandangi bayangan tubuhku kala itu di lantai coklat aneh. Kaos potongan leher terbuka hitam dengan balutan rok batik. Yang keduanya hilang saat ini, begitu uniknya. Aku menyentuh pipi malam yang sangat dingin. Mungkin sedingin Edward Cullen dalam tetratolgi vampire twilight kala itu. Dia menikmati itu. Sedangkan aku mulai kejengahan dengan semuanya. Keanehan-keanehan menyeruputku kala itu. Malam menarikku dalam-dalam. Aku terengah-engah kala itu. Tapi aku diam saja. Aku ingin marah kala itu, tapi aku hanya mampu tersenyum dibuat-buat. Ketertarikanku akan redefinisi manusia mesin, membuat aku menganggap setengah dansa ini bukan sebuah rahasia, tapi sebuah pengantar saja.

Malam menarikku lagi. Aku tak tahan lagi ingin merebahkan diri didalam kamarku. Tapi dia memaksaku untuk terus tersenyum dan menatap malam dengan pekat. Hingga malam melepasku. Aku kelelahan dan duduk dibawah cermin besar tempat semula aku berdiri. Lalu aku menyeruput sebatang cigarettes mild dan menghisapnya dalam-dalam. Tanpa setengah nakal, aku menghembuskan ke muka malam yang dingin. Aku menikmati yang seharusnya tak kunikmati. Rasa mint terasa menusuk dalam-dalam, tapi tubuhku tak dapat berbohong, dia menohokku keras sekali.

‘kau telah keluar dari manusia mesin ketika kau menghembuskan cerobong pekat ke mukaku. Marilah. Harus kau ceritakan, apa yang kau alami’

Aku menatapnya menusuk. Tersentak dan terbangun. Apa yang sesungguhnya terjadi. Tanda-tanda tanya singgah di butiran kepala ini. Malam membalas tatapanku dengan menatapku lekat-lekat juga. Sudut elangnya menghubungi hatiku. Malam ikut menyibakkan rambutnya. Mencoba menarikku kedua kalinya. Hingga aku sesenggukan menangis untuk pertama kalinya. Aku menceritakan bukan dari lafas A, tapi lafas Z. kekuatan konstruksi nyata masuk ke tahapan mitos. Dan lebur menjelma menjadi aku sebagai manusia mesin. Berpuluh-puluh tahun silam, ketika aku baru hidup.

Mungkin kala itu, aku belum menjadi manusia mesin. tapi untuk menutupi pahatan-pahatan di batu, aku membalik batu tersebut agar tak terlihat lainnya. Sebenarnya aku konyol dan terkesan licik. Waktu itu menurutku menjadi yang terbaik dari segala upaya yang ada. Hmhm.. tanganku kesakitan kala membalik batu itu. Darah lebur ke dalam balutan peluh keringatku. Menahun, satuan waktu yang kusembunyikan di balik batu itu. Akhirnya kubocorkan sedikit kepada malam. Hanya sedikit saja.

Kami terdiam. Dan membiarkan malam semakin melebur ikut dalam lafasku. Malamlah yang mengajarkan aku mengenai redefinisi manusia mesin (ini sulit sekali kuakui, karena kuyakin ini kalimatku. Malam hanya menunjukkan jalannya saja bertemu sudut kayu itu). Ya manusia mesin, manusia yang mengatur cara tersenyum ketika dia kesakitan. Mengatur cara berjalan ketika kesakitan. Mengatur cara berpakaian ketika dia tak suka kaos berpotongan leher tinggi. Semuanya hanya untuk memenuhi cerobong kelaparan saja.

Sungguh aneh. Antara manusia mesin dan kelaparan ternyata tidak jauh berbeda. Kala itu malam mengantarkanku ke sebuah masa. Ketika aku mampu berteriak lantang mengenai cara menulis, cara berteriak hingga memahami bahwa aku tidak harus menjadi manusia mesin ketika aku ingin ada.


Bdozskzg rdlhmzq
Kzkt odmdkhshzm
Kzkt tihzm
Kzkt vhrtcz
Kzkt adqjdqiz
Kzkt lzozm

Zfzq zjt azgzfhz ldkhgzslt
(akan kujelaskan di sisi lain arti kalimat rahasia ini, kubocorkan sedikit : ini bahasa manusia bukan mesin)

Seperti ungkapan Dumbledore, aku tak takut menghadapi kegilaan ini.

Pluto, 23 Oktober 2010





Komentar

Rita mengatakan…
hidup adalah gula
Angger Wiji Rahayu mengatakan…
:) setiap orang pasti memandang berbeda ya mba..

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil