GELISAH

Benar…

Aku hanya butuh kau mengakui, bahwa kau pernah menduakan barat dan timur. Di awal Hari Kemerdekaan kita, kau nodai dengan berdusta. Aku gelisah, ketika kau berusaha jujur. Ini untuk menarikku kembali atau membuat aku di tengah-tengah barat dan timur lagi.

Aku gelisah aku mengakui kesalahanmu.


Tiba-tiba dia terdiam..

Satu tahun delapan bulan serasa tak bergeming dari tempatnya. Waktu menalarkan logika. Tak tersentuh olehnya. Awalnya pun dia tak tau. Tak menorehkan apa di hatinya. Namun, hatiku pilu di akhir hari Kemerdekaan. Ketika aku tiba-tiba datang dan menggantikan kedua kutub timur dan baratnya. Aku teriak, aku hanya ingin jadi timur. Bukan menggantikan barat. Dia tetap tak bergeming.

Aku tersedan…

Putih kini menjadi kuning.

***

“apa yang salah dengan yang kulakukan?”

“tak mengapa jika aku jatuh cinta”

“apa yang salah dengan jatuh cinta?”

Dia tetap tak menjawab. Dia merengkuh tanganku dengan keras. Mencabik mukaku di hadapan beberapa waktu yang bergulir. Aku diam saja. Hanya bias waktu yang menyatakan aku tak mengapa. Dan aku berlari lagi. Lagi.. untuk kesekian kalinya aku berlari dan menabrak seekor rubah di tengah kota yang ramai.

Aku tersudut di paling sudut kamarku. Lalu aku memainkan gelas-gelas yang berdenting. Tapi juga gelas itu ternyata tak berdenting. Aku duduk, menunggu malam datang dengan mentari. Ah aku terlalu jauh. Aku berharap tidak seperti ini lagi. Aku meninggalkan dua sudut timur dan baratku. Aku tak sanggup merengkuh utara lagi.

Dan…

Dan…

Malam ini, setelah perjalanan yang panjang atas diamku. Kau tersentak. Tak mau merengkuhku lagi. Bahumu telah pergi untukku. Aku hanya bersandar di dinding teras kamarku malam ini. Kuhabiskan malam hanya untuk menghilangkan lelah.

***

Pagi ini, aku bangun dengan tidak ada yang berubah. Aku melihat handphone ku. Tulisan-tulisanmu masih ada. Aku bingung, pahamkah kau dengan tulisan-tulisanmu dalam sms kali ini. Kau mengatakan bahwa aku tak begitu dewasa memahami sebuah masalah. Katamu ini realita yang tak bisa aku hindari. Yang tak bisa aku pahami. Katamu sesuatu yang indah ini adalah hal yang lumrah. Semua kalimat yang kau ucapkan tak pernah kau pahami, bahwa satupun kalimatmu tak membelaku.

“Ris, ini tentang cinta. Kau tak boleh berbicara seolah-olah hidupku adalah hidupmu. Kau harus paham ini semua tentang cinta. “

“Kau tak paham cinta, ini bukan cinta, ini tentang anarkisme dalam hubungan berpacaran. “

Tut..tut..kau mematikan ponselmu. Aku miris Cinta. Aku mencintaimu.

***

Akhirnya, aku menemuimu. Sudut kamarmu rasanya luas sekali. Biasanya aku membelai rambutmu, menceritakan tentang kisah-kisahku seharian. Dan mendengarkan cerita-ceritamu. Biasanya kita makan bersama di luar, dan tak masak seharian. Kau pasti merengek-rengek padaku untuk memasakkan makanan keesokkan harinya karena kangen masakanku.

Tapi kali ini bagaimana aku mencairkan suasana kita. Kau diam saja, merajuk padaku. Kubujuk marahmu, tapi aku benar-benar tak mampu merayu. Rasanya tak adil jika aku merayu rajukanmu dengan mengiming-imingimu jalan-jalan liburan ke Borobudur. Aku ingat sekali, minggu kemarin kau merengek-rengek ingin ke Borobudur.

“Cinta, kita nonton aja yuk. Kan 21 lagi premier Kambing Jantan”,

“Lagi males, pengen dirumah aja.”

“Atau kita main monopoly aja??” rayuku sekali lagi.

“Masih ngantuk, pengen tidur”

Marahmu benar-benar ada. Aku diam saja, karena aku bingung mengungkapkannya dan bagaimana aku menjelaskan padamu. Kau menoleh kepadaku.

“Kenapa kau mengecewakanku Ris?”.

(Ufh…akhirnya kau bicara Cinta, sebuah ungkapan kau ingin berdamai padaku. Tapi aku tau kau begitu marah, kau tak menyebutku kakak lagi dalam setiap kalimatmu. Ini berarti kau marah besar.)

“Aku belum siap Cinta.”

“Apalagi yang kau pikirkan Ris?? Bukankah dia orang yang pantas mendampingimu? Aku malu sekali Ris, kau tak mengindahkannya. Aku pikir dia orang yang kau inginkan. Ingat Ris, berapa umurmu. Kau tak pantas lagi nge-kos. Kau selayaknya punya rumah, suami, anak-anak yang lucu. Lalu aku bersukaria mengantarkanmu ke pelaminan. Jika ayah dan ibu tau kau begitu, aku yakin mereka tak tenang disana.”

Ungkapmu panjang lebar. Aku pilu Cinta. Bagaimana aku menjelaskan padamu. Aku diam saja. Tak dapat berbicara.

“Ris, jawab apa yang terjadi denganmu? Usiamu 34 tahun. Aku sangat menyayangimu Ris. Kita hanya berdua didunia ini. Bagaimana aku tak marah padamu jika kau tak peduli dengan hidupmu. Ayolah, jangan kau habiskan hidupmu dengan bekerja dan mengurusku. Umurku sudah 18 tahun, dan aku telah duduk di bangku kuliah saat ini. Aku rasa, aku telah boleh jatuh cinta“

“Ris…” kau mendekatiku dengan menepuk-nepuk bahuku. “Katakan apa yang terjadi?”

“Cinta, biarkan aku berfikir”

“Berapa lama lagikah Ris? Selalu itu yang kau katakana padaku. Aku bingung Ris. Aku bukan melakukan kejahatan yang besar dengan berpacaran. Aku mencintainya Ris. Aku telah dewasa Ris. Adikmu ini telah beranjak dewasa Ris. “ amarahmu memuncak.

“Aku yakin ayah ibu, tak akan melarangku berpacaran saat ini. Aku juga bingung kenapa ayah dan ibu tak pernah berfoto denganku sewaktu aku kecil? Apa yang kau tutup-tutupi Ris?“

Deg….jantung ini serasa berhenti.

Amarahmu memuncak. Rumah kos-kosn mu serasa menjadi lautan api. Kau mengayuh sepeda di pinggir pantai dan aku tak mampu mengejarmu berlari. Rasanya ingin kuteriakkan bahwa aku telah menikahi bulan dan bintang, sehingga tak usah kau menyuruhku menikah lagi. Atau, akan kujawab dengan jawaban konyol, bahwa tunggu kau selesai kuliah Cinta. Tunggulah kau mendapatkan semua impianmu. Ah, tapi kau pasti teriak. Kau sudah terlalu tua Ris, kau sudah menopause saat itu dan aku tak akan menimang ponakan-ponkan yang lucu. Apalagi yang harus kubicarakan padamu Ris??

Akhirnya, kau terdiam. Kau menangis sesenggukan dan tak mau lagi bicara padaku. Kubiarkan tangisamu hanyut kedalam lautan. Dan terlelap dalam amarah yang kelelahan. Sambil mengusap kepalamu, kujelaskan dalam hati mengapa semua ini kulakukan.

“Cinta, ibu melakukannya untukmu. Ibu tak ingin kau juga menjadi korban. Menikah bukan persoalan cinta saja. Tetapi persoalan tanggungjawab dan komitmen. “

Seandainya kau tau, Kak Ris mu ini ibumu, apa kau akan mengerti cinta?

Aku pilu. Seandainya, Rinto ada disini dan mempertanggungjawabkan semuanya, tentunya kau tak akan menangis pilu malam ini nak. Tidurlah, aku akan menjagamu. Tak kubiarkan nyamuk menyakitimu sedikitpun. Biarkan kau menghujatku, memusuhiku, asal tak satupun yang berani menyakitimu.

Ibu begitu ego untuk masa depanmu nak.

Sudut kuning, 21 Februari 2009

Komentar

Dewa Krisna mengatakan…
salam kenal bloger dari bengkulu.
go_blog....
Angger Wiji Rahayu mengatakan…
silahkan baca2 ya.. salam kenal juga :)
diannnn mengatakan…
Kereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee n n n n n .... Aku suka ceritamu...

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil