Chapter 2

Vasnya pecah. Tak ada tangan yang membawanya. Bunga-bunga berhamburan layaknya air yang datang memecah. Dan aku tak mampu berfikir secara rasional lagi. Aku tak mampu mengatakan bahwa vasnya pecah. Aku tak mampu mengungkapkan bahwa aku butuh vas baru dalam ruang itu dan mencairkan ruang yang kubangun sendiri. Aku juga tak mau tau bagaimana vas itu mampu hadir kembali, karena sejatinya vas itu tak mampu kembali lagi, selain tergantikan dengan yang baru. Yah, begitulah yang terjadi. Dan itu terulang lagi. Kini vas itu telah pecah berkeping-keping.

Awalnya tiada yang berubah, yang ada hanyalah skema runtutan kehidupan seperti biasa. Ada yang terulang, dan bermaksud untuk menuntun untuk tak berbalik. Namun akhirnya berbalik. Awalnya tak ada kata suka. Tak ada kata saying, namun perlahan timbul perasaan sayang. Lalu mulai tumbuh perasaan cinta, karena dia bercinta denganku dengan caranya sendiri, yang tak mampu kuungkapkan. Dan aku yang hanya mampu mengungkapkannya juga dengan caraku sendiri. Tak ada yang mungkin terulang dalam benang-benang yang terjalin.

Dia dan lingkungannya seakan menyatu menjadi satu. Tak tau apa yang melatarbelakanginya. Dia menyukainya sejak pertama kali bertemu dan memaknai tentang kehidupan memulainya dari situ. Aku tak tau seberapa dalam cintanya kepadanya, namun aku melihat sikapnya yang tak mampu melupakannya yang menguatkan aku bahwa dia sangat mencintainya. Bahkan mungkin melebihi cintanya terhadapku. Matamu menatap dengan tegas dan tulus. Bahkan sebenarnya mataku tak sanggup melihat ketulusanmu mencintainya.

Ada suatu kala, aku memaksamu untuk pergi meninggalkannya, namun kau diam saja. Kau tak berkata apa-apa lalu kau tersenyum padaku. Bagaimana aku mampu memarahimu ungkapku dalam hatiku untuk meninggalkan cintamu. Aku mencari berbagai cara untuk membuatmu meninggalkannya dan dengan utuh mencintaiku. Namun, matamu sungguh-sungguh membuat aku tak mampu berbuat lebih. Kau sangat mencintainya.

Dalam suatu malam, kau bercerita padaku dengan berapi-api bahwa kau melihatnya dengan tenang dan berulang kali kau menggapainya dalam ganasnya malam. Kau menempuhnya berkilo-kilo meter, hanya untuk menemuinya. Membuat tubuhmu remuk menjadi satu bagian dank au tak mengeluh sedikitpun. Peluh yang bergalon-galon kau keluarkan hanya untuk melihatnya dengan sudut yang berbeda. Kau mencampurkan bagian-bagian hidupmu hanya untuk menjadikannya sebagai permata hatimu. Kau katakana,

“ada bunga keabadian terhampar luas diatas sana, dan ketika embun turun, kau tau sejatinya kita bukan siapa-siapa dalam hamparan luas tersebut. Kita hanyalah seonggok, dan seulas tetesan embun dalam hamparan ini. Karena sejatinya, kita mampu memberikannya kesejukan walaupun hanya setetes. Dan jangan kau lewatkan itu.”

Ungkapmu dengan menutup matamu.

Aku merasa iri, kau mencintainya lebih dari apapun. Bahkan lebih dari aku. Dan itu kuulang berklai-kali. Perhatiannmu, lebih dari yang kupunya. Waktumu lebih banyak tersita untuknya. Dia adalah prioritas dan aku entah apa kau anggap. Lukisanmu akannya terlalu indah. Bahkan setengah hidupmu kau habiskan untuknya. Aku baru memasuki hidupmu sebentar. Bahkan aku ragu apakah aku masih mempunyai tempat dihatimu, di pikiranmu. Apakah aku mempunyai bargaining position jika nanti aku mendampingimu. Pikiran ini hadir, dan aku tersedu malam ini.

o0o

Malam ini kau berjanji denganku untuk mengajakku nonton bioskop. Aku kegirangan dari siang karena aku akan pergi denganmu. Aku sumingrah dan aku menjadi ceria siang ini. Aku menghabiskan setengah waktuku untuk memikirkan menggunakan pakaian apa yang pantas untuk pergi denganmu. Me-mix and match kan dengan jeans balel andalanku, serta sepatu flat yang senada dengan jeans belelku. Dan mematut dengan lama, apakah di mukaku ada secercak butiran-butiran bintang yang mengganggu pikirku. Apakah rambut pirangku yang tergurai hingga ke bahu layak tergurai. Atau disembunyikan dibalik kuncit mungil asal-asaln yang memamerkan bahuku yang indah.

Aku telah memikirkannya sejak siang, sejak kau menjanjikannnya. Semua pekerjaanku tidak terkonsentrasi penuh. aku ingin layak didepanmu dan terlihat baik dimatamu. Bahkan aku mematut diriku berkali-kali di kaca berdakku. Semua orang memperhatikan tingkahku kali ini. Semua orang mengatakan bahwa ada yang salah dengan tingkahku, layaknya orang yang sedang jatuh cinta. Yah, aku jatuh cinta padamu. Jatuh cinta pada kekakuanmu. Jatuh cinta pada setiap gerak dan langkahmu. Jatuh cinta pada senyum simpulmu, jatuh cinta pada tanganmu yang dingin saat memegang tanganku. Kau lakukan itu semua, dengan perasaanmu, dan aku merasakannya dengan indah. Entah mengapa.

Malam rasanya tak kunjung tiba. Aku gelisah sekali ingin cepat-cepat sampai dikamar dan mematut diri demi untukmu. Dan berjalan melanggeng dijalanan, dan aku ingin kau tak malu membawaku pergi keluar. Aku ingin sekali kau menggandengku mesra dan bercengkrama denganku dengan sepenuh hati.

“hai yu, kenapa mesem-mesem sendiri?”

“oh, gak apa-apa”. Aku salah tingkah.

“hmhmhm, apa tuh yang dilamunin?”

“ada deh, mau tau aja nih”

“walah-walah, kawan-kawan kayaknya ada yang sedang jatuh cinta nih.”

“eh, enggak, bukan itu.”

“hayo ngaku yu, siapakah gerangan?” semua nya menimpali dengan rebut.

“wah makan-makan nih kayaknya bentar lagi kita.”

“hahahaha… dimana nih kita makan-makan yu?”

Mukaku memerah padam mendengar celotehan mereka. Apakah benar ada yang salah dengan lamunanku sehingga teman-temanku mampu membacanya dengan jelas. Dan sekarang aku terjebak dalam permainan kata-kata mereka. Aku terjebak dari sudut-sudut yang tak mampu kuungkapkan. Aku benar-benar bingung, ini bahagia apakah ini hanya sekedar ejekan biasa. Aku tak mampu menimpali setiap permainan kata-kata yang mereka lemparkan. Aku hanya malu-malu tak jelas. Dan membuat mereka semakin asyik untuk menertawakan aku dengan sangat. Aku tak tau, ini bagian dari kebahagiaan atau hanya sekedar flashback ungkapan nanti malam.

Aku menikmati rutinitas ini. Aku terjebak kedalamnya. Aku menikmatinya. Dengan seksama.

o0o

Jam didinding berdetak-detak. Jarum jam tetap berputar, aku lama sekali mematut diriku. Pukul menunjukkan ke angka 6 di jarum yang kecil dan angka 3 di jarum yang panjang. Aku bergegas menghadap Tuhanku, dan bercengkrama denganNya.

“hai Tuhan, aku tak tau apa perasaanku kali ini. Apakah yang aku rasa kali ini, apakah benar ini cinta Tuhan. Apakah ini hanya sebatas perasaan semata. Dan ini hanya bualanku terhadap hidup yang tak mau sendiri. Tapi benar-benar aku bahagia sekali saat ini. Kau tau Tuhan, aku tak mampu hidup tanpanya.”

Kututup perbincanganku terlalu cepat. Aku sudah tak sabar lagi mematut diriku di depan cermin. Berdandan secantik mungkin. Dan ingin bertemu dengannya. Sekali ini aku benar-benar ingin segera, dan menuntaskan dandananku. Kuputar lagu Jason Mraz, 1 kali, 2 kali, 3 kali hingga berkali-kali. Tak ada tanda-tanda dia akan datang. Aku tak berani mengangkat telponku dan memutar nomornya untuk menanyakan kelanjutan malam ini. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku tidak mampu masuk kedalam diriku menjadi diriku yang berani. Sangat membuat ini tidak nyaman lagi. Aku berharap, bagaimanapun malam ini cepat berlalu.

Jam dinding berdetak-detak, aku tak tau harus menendengarnya atau tidak tapi aku benar-benar tersiksa mendengar jarum jam berputar tanpa henti. Akhirnya aku merebahkan tubuhku. Aku kelelahan, aku memutuskan untuk tidur dan terlelap pulas. Dengan semuanya tetap dalam keadaan yang telah kupersiapkan. Aku gelisah. Aku tak nyaman dengan keadaan ini, tapi apa daya. Aku bukan yang pertama. Dengan cepat aku menarik selimut di malam yang dingin menusuk. Kesehatanku jauh lebih penting kali ini. Aku melupakan malam ini dengan cepat tapi pasti. Beginilah resiko mencintainya. Aku tak tau apa yang kurasakan tadi malam. Aku merasa terbang.

oOo

Bunyi ponsel yang meraung-raung membangunkan tidur pulasku. Aku tak mau melihat ponsel, aku takut berharap dia yang menelpon. Aku tak mau mengatakan bahwa aku tertidur menunggunya. Aku sedih tak ada kabar darinya. Aku tak mau menjelaskan itu semua. Ini menjadi bagian terpenting dalam hidupku bahwa aku berada pada titik lemah. Aku tak diperhatikan dan tak menjadi bagian yang sangat penting dalam setiap proses hidupnya.

Akhirnya kulihat ponselku. Yup, benar dia yang menelpon. Dan aku hanya tercengang saja. Jantungku bertedak hebat tak seperti biasanya. Ini sangat menyikasaku. Jika tak kuangkat, sama saja aku semakin menyiksa keadaan. Tapi dia membuatku berada pada titik yang paling lemah. Aku merasa bahwa ini adalah sebuah jalan yang seharusnya kulewati dengan seksama. Aku sibuk bersiteru dengan hatiku.

‘bukan dengan begini cara mencintai’

‘ah, apa taumu tentang mencintai, jiwa. Bukankah kau hanya raga yang melihat bukan dengan mata hatimu’

‘aku tak bermaksud begitu, aku hanya menyayangi hati, sehingga aku rasa, sebagai jiwa aku harus mengingatkanmu. Bukankah kau terlalu letih menahan semua ini. Bukankah kau tau, bahwa ini sebuah cerita yang bukan kau impikan. Bersiteru dengan teori dan menjadikanmu yang pertama bukankah dirimu sebegitu indahnya? Bukankah kau layak diperlakukan dengan begitu anggun wahai hati?”

Pertanyaan-pertanyaan sebegitu banyaknya menyiksaku dan menghapus pandanganku pada ponsel yang terus meraung. Tiga kali, dan ini kali terakhirnya.

“ya honey”

“waduh, maaf honey, tadi malem rapatnya sampe malem. HP ku habis batere, lupa di cas. Maaf ya. Ntar kita ganti ya honey”

“iya tak apa-apa”

Jiwa menjerit dengan kuat. Hanya begitu saja wahai mulut? Hanya begitu saja? Tak lain kau ungkapkan? Marahpun kau layak.

“iya, sibuk banger ya sayang?”

“iya nih, ada beberapa proyek kecil yang harus diselesaikan. Dan akan ada proyek baru lagi sayang. Sabar ya..”

“iya gak apa-apa”

Mengapa tak kau tanyakan pekerjaanku sayang? Apakah aku benar-benar menjadi yang kedua dalam hidupmu setelah pekerjaanmu?

“sayang sudah dulu ya, jangan lupa makan ya”

“iya honey, dirimu juga”

“love u”

“love u to”

Klik. Ponselmu mati dan aku terdiam terduduk lemas sayang.

Jiwa, jangan kau merajuk dengan hati ya. Dengarlah, bahwa dia bekerja. Bukan melakukan apa-apa yang kau terangkan padaku. Hatiku tetap disini, ada untuknya. Pekerjaannya juga merupakan bagian dari perjuanganku untuk kaumku jiwa. Bukankah merambah hutan dan alam merupakan merusak jiwa dan hati perempuan?

Pekerjaan begitu penting untuknya jiwa, karena ini bukan permasalahan dua individu saja. Tapi ini adalah perjuangan yang tak terhingga jiwa.

‘lalu bagaimana denganmu? Apakah melukaimu juga merupakan memperkosa hak-hakmu sebagai pasangannya? Jiwa dan hatimu koar-koar bahwa perempuan tidak boleh ditindas tapi kau diam saja ditindas seperti ini?’

Jiwa, pahamilah. Ini bukan pertengkaran antara kita. Kau harus yakin dengan ucapanku dan hatimu. Bahwa hati tak pernah salah sayang. Dan bagaimanapun kau harus tau bahwa ini perjuangan. Tak mengapa aku menjadi yang kedua, sedangkan pekerjaan menjadi yang pertama. Asal itu diatas nama ‘perjuangan’ untuk kemaslatan umat. Tapi aku sangat tak tau jiwa, bagaimana reaksimu menghadapi teman-teman nanti. Kau harus mempersiapkan dirimu.

Aku mematut diri di cermin. Dan memoleskan serbuk-serbuk indah dalam pantulan cerminku. Aku kelihatan begitu cantik. Aku tak tau apa yang harus aku ceritakan tentang tadi malam dengan seluruh mata yang bertanya padaku. Semoga serbuk-serbuk ini mampu menutupi rasa yang merasuk ini.

Aku yakin aku akan menemukan jawabannya. Tidak sekarang, ya benar. Tapi nanti. Aku yakin Sang Pencipta tidak menutup mata untuk ini. Aku melajukan motorku dengan bersenandung lirih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil