Chapter 3

Aku menuliskan bagian ini dengan sangat emosi dan dengan menangis. Bukankah aku juga manusiawi menangis karena hal-hal yang tak mungkin melukai hatiku?

Begini awalnya. Kadang kita merasa bahwa ini adalah sebuah masalah tapi ini bukan sebuah masalah. Kadang kita merasa bahwa ini hanya semata terjadi karena kesalahan kita, tapi jika kita sadari ini bukan kesalahan kita. Kita tak mungkin sebegitu bodohnya sehingga menyalahkan diri sendiri. Bukankah ini kesalahan orang lain. Dan jangan merendahkan diri untuk kesalahan orang lain, itu akan menjebakmu. Nah, rasanya perasaan yang paling dalam ini merasuk keluar hingga sampai dasar.

Hari ini, aku menyiapkan diriku pergi ke kantor. Walau dengan keadaan yang sangat sederhana, namun pagi ini kurasakan sebegitu hebatnya. Pagi menyapaku dengan terik yang indah. Aku menikmatinya hingga ke dasar kulit yang terbawah. Kubuka punggung indahku, dan kuhempaskan ke teriknya pagi. Aku rasa kulitku yang kuning kecoklatan ini akan menjadi sangat indah jika semuanya mampu melihat indahnya terik matahari. Ah, sayang hanya punggungku yang mampu merasakan ini. Tak mengapalah, yang terpenting hatiku sebegitu teriknya dihadapan matahari kali ini.

Hmhm, rasanya seperti coklat. Manis legit tapi tidak meninggalkan kebosanan yang mendalam. Kuteguk satu kali lagi. Aku merasainya seperti dalam hatiku, hmh.. susu kali ini yang juga menemani pagiku. Susu berwarna coklat, seperti rasanya yang legit kuhirup sambil kunikmati punggungku yang terkena bilasan matahari. Aku bangkit setelah menikmati semua itu. Kubereskan setiap jengkal buliran debu yang menempel di istanaku dan tubuhku. Aku membersihkannya bergantian, dan aku tersenyum kali ini. Aku berangkat dengan bersuka hati.

“ke kantor mb? Cantik banget”

Aku tertegun di depan kamar. Oh, adik tingkatku di depan kamarku yang sedang menjemur pakaian. Apakah iya ungkapannya ataukah hanya sekedar membuatku bahagia saja.

“iya dek, ke kantor. Hmh, Agil merayu apa nih? Agil gak ke kampus?”

“ke kampus mbak, bentar lagi, Agil masih mau ngeprint tugas”

“oh, iya dek, mb berangkat ya”

“iya mbak hati-hati ya”

Aku senyum sendiri pagi ini. Ternyata sekedar pujian secuil itu, mampu membuat manusia mampu membuat semangat yang tak terkira. Ah, ini terlalu manusiawi. Manusia dengan tingkat perasaan yang sangat dalam.

Aku meraungkan motorku dengan rendah. Aku langsung menuju kantor.

oOo

“Ge dimana?” Uni bertanya dengan Mbak Eli di ruangan depan kantor.

“ada di ruangannya uni”

“Oh iya”

“Ge sibuk, bisa kita diskusi?” Uni membuka pembicaraan di ruanganku yang akhir-akhir ini agak tegang.

“Iya uni kasih waktu lima menit lagi”

Pagi ini aku sedang ada metting internal divisiku. Hanya kami berdua bersama timku beserta manager program yang akan mensupervisi program divisi kami. Meeting kami kali ini terasa lebih lama. Sebenarnya aku baru saja belajar di program baru ini. Aku agak sulit menyesuaikan diriku untuk memahami semuanya, karena aku belajar dari nol. Dan di supervisi satu bulan sekali saja. Hufh.. satu bulan kan lama sekali bukan? Bukan karena program ini tidak penting, tetapi mereka percaya aku mampu melewati ini dengan baik.

Huft.. lucu sekali aku dipercaya dengan sebegitu lepasnya. Bukankah aku juga manusia yang tidak boleh dipercaya 100 %?? Aneh-aneh saja pikirku. Tapi yah nasib, mungkin inilah salah satu moment awal untuk aku mampu berpsoses lebih cepat lagi. Aku mencoba menikmatinya dengan segudang aktifitas yang sudah direncanakan. Aku terus bekerja, bahkan aku membantu temanku menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. Padahal kerjaanku bertumpuk banyaknya. Tak mengapalah setidaknya ini akan membuatku sibuk dan kelelahan, karena sedetikpun aku tak ingin merasa kesepian dan sendiri. Karena itu akan menyiksaku dengan sangat.

Meeting kali ini terasa lebih lama, aku dikritik habis-habisan dalam pekerjaanku. Bagaimana tidak, aku agak sulit belajar jika dalam tekanan yang begitu tinggi. Aku butuh tekanan, tetapi bukan tekanan yang membuat aku kehilangan kepercayaan diri. Sungguh ini diluar batas. Semakin menumpuk saja masalah demi masalah yang aku hadapi kali ini. Masalah rumah, pekerjaan, kehidupanku dan cita-citaku semua bergumul menjadi satu di awal tahun ini. Kadang aku ingin menyerah saja, tapi ini bukan solusi. Aku tak bisa membiarkan diriku jatuh berlarut-larut, karena aku bukan pribadi yang sangat kesepian. Aku hanya butuh waktu untuk menjadi sekuat baja. Dan mereka kali ini tidak sabaran.

“Uni tau, aku tak menginginkan mengerjakan program ini karena aku belum punya kemampuan dibidang ini. Dan aku telah berterus terang dari awal. Tapi bukankah apa yang kukerjakan sudah melebihi kemampuan yang aku punya. Aku butuh supervisi, training untuk meningkatkan kapasitasku. Aku hanya butuh waktu. Atau aku boleh dipindahkan ke divisi mana saja, jika penilaian kawan-kawan aku tak pantas. Jika salah, mohon jangan dimarahin seperti tadi, karena aku sangat sensitive. Mohon kita saling pengertian. Maaf jika aku terlalu vulgar berbicara, tapi karena itulah kata hatiku”

Rasanya ungkapanku menjadi begitu membludak tadi. Dan mereka hanya terdiam saja. Mereka tau aku juga membantu mengerjakan pekerjaan staf lain karena memang pekerjaan begitu banyaknya sehingga kita harus saling berbagi. Jawaban yang agak lumayan melegakan hatiku membuat aku tau, bahwa aku benar-benar diharapkan mampu menyelesaikan ini hingga akhir tahun. Aku membawa beban ini pulang, walau sudah kurencanakan tidak kubawa pulang, tapi akhirnya aku bawa pulang juga. Aku gelisah. Tempat program itu dan semua jalannya, menyisakan begitu perjalanan yang sangat tajam bagi diriku. Karena alasan tempat itulah aku tak mampu maksimal mengerjakan semua itu.

Suara sms masuk ke ponselku,

“honey, maaf aku sepertinya gak bisa temenin dirimu ke luar kota besok. Maaf ya, ada pertemuan yang mendadak sekali”

Jantungku berdetak kencang. Apalagi ini Tuhan. Aku mencoba melawan ketakutanku besok, tapi ternyata aku masih belum cukup berani sehingga Dirimu memberi sesuatu yang tak aku inginkan. Rasanya ingin sekali marah dengan pacarku, kalau dia ada malam ini, kuputuskan sajalah dia karena tak mengerti dan tidak memberi solusi untukku. Aku kebingungan bagaimana cara menyampaikan luapan emosiku padanya. Tak mungkin menceritakan saat ini padanya. Aku menelpon semua temanku dan mengakhirinya ditemaram malam. Tahajud mengantarku tidur dengan pulas.

oOo

Tak usah diceritakan bagaimana kronologis hidupku, yang jelas aku sangat phobia dengan kesendirian. Awalnya aku sangat senang sekali ketika kau berucap mau mengantarku ke luar kota, menemaniku kerja. Sebenarnya aku benar-benar tidak menyukai pekerjaanku ditunggu dan diawasi pacarku, tapi apa daya ini kepergianku ke luar kota. Aku sudah membujuk separuh penghuni kantor untuk ikut dalam lobby-ku kali ini. Tapi mereka tidak ada pekerjaan yang mendesak ke kota tujuanku. Aku mendesah berat kali ini. Seharusnya kali ini, aku ditemani staf lain sebagaimana biasanya, tapi kali ini dia tidak ada jadwal juga. Aku benar-benar shock.

Pacarku sudah dari sepuluh hari yang lalu menawarkan dirinya untuk mengantarku ke tempat tujuan kerjaku. Aku menunggunya dan merancang sebuah pekerjaan menjadi sebuah liburan yang sangat menyenangkan. Bukan masalah dekat dengan pacar yang kuinginkan, tetapi sebuah pengertian pacarku atas kondisi kephobiaankulah yang sangat kuharapkan.

Bagiku, mungkin setengah waktuku dalam satu hari nanti jika aku bersuami, bukanlah milik suami tetapi milik pekerjaan yang sangat menyita waktu. Atau mungkin milik anak-anakku kelak yang ingin selalu ditemani olehku. Atau bahkan, aku lebih menyukai suamiku yang sibuk dengan pekerjaannya. Dan kita bertemu, saat benar-benar libur. Ah, biarlah Tuhan yang ikut campur kali ini. Karena aku tak tau yang mana yang ideal bagiku.

Dulu aku sangat percaya pada keadaan tapi mereka menyiksaku. Membuat aku tidak percaya dengan orang yang kukenal, terlebih orang yang tidak dikenal. Bahkan kadangkala, dulu aku seperti orang yang sangat paranoid untuk melakukan yang tak ingin kulakukan. Tapi sekarang dengan berjuta pengalaman baru, aku mencoba belajar dan tidak terjebak dengan kesalahan yang sama. Aku juga tau kesalahan yang sama terulang bukan karena aku tidak belajar, tapi karena siklus kekerasan yang memang aku belum tau serta direduksi massal oleh masyarakat.

Aku mendapatkan jawabanmu dari sms yang tadi malam, tapi jangan kau kira itu bukan perjuangan. Bagi orang lain, ini hal biasa saja, tapi tidak bagiku kali ini. Aku bisa pastikan kali ini dirimu harus mengeja namaku dari A sampai U agar kau tau bahwa aku mampu melawan ketakutan ini.

Kulewati semua tikungan perjalananku dengan tidur dalam bahu rata Rio. Dia menarik tanganku karena aku tidur pulas. Ini sebuah kebiasaanku yang sulit kuhilangkan. Tapi aku menikmatinya, karena aku yakin setiap orang yang memboncengku bukan manusia biasa. Kami melewati setiap tikungan tajam yang hampir memaksa Rio berpikir keras agak tidur pulasku tidak terganggu. Dia bernyanyi, lagu pertama yang dia nyanyikan adalah lagu ‘malaikat juga tau’-nya Dee. Aku mendengarnya meski sayup-sayup saja. Dia tau aku suka sekali lagu itu, dengan liriknya yang menggambarkan setiap tikungan. Hingga sampai di kota tujuan, tak dilepaskannya tanganku hingga aku bangun. Dan aku tersenyum.

“lapar ya, makan dulu ya” aku bangun dan tersenyum simpul-simpul

“pegal tau, bawa kau ne, tidur sepanjang jalan, kau pikir aku ne bantal tau? Lah tadi malam bujuk orang mendadak-mendadak, kini tidur pulo. Dak tau apo tadi banyak mobil besar. jatuh, lecet, minta tanggungjawab pulo. Najis nian sampe tanggungjawab samo kau ne.” Rio mengomel-ngomel sambil menunjuk ke kepalaku.

Aku mendengarnya lucu. Aku tau, kau sayang padaku. Menyanyikan lagu kesukaanku biar aku tidur pulas, membiarkan aku menangis dan mengantarku. Itu sudah lebih dari cukup wahai saudaraku.

“hahahah.. maaf, besokkan libur, jadi besok aku pijetinlah, pake sandal tapi. Mau? Hahaha.. makanlah kita, dimana dirimu mau say? Aku penuhin”

“nasi padang kayaknya enaklah. Aku taulah mbak, dirimu dari kemarin pengen makan nasi padang kan?”

lets go

Setelah urusan semua selesai, kami pulang. Sepanjang jalan hujan deras. Kami tak membawa raincoat sehingga sepanjang jalan, akan dilalui begitu panjang. Perjalanan 1,5 jam menjadi lebih lama, 2,5 jam. Dan ini membuat seluruh badanku remuk padam. Sungguh, ini sebuah perjuangan. Bukan hanya untuk perempuan-perempuan korban, tapi untuk diriku sendiri. Melawan ketakutan dalam diriku dan semua kejadian yang telah berlalu.

“kalo marah, ya marah lah mbak. Gak ada yang salah dengan kemarahan mbak. Kalo takut ngomonglah takut mbak. Itu lebih baik”

Jantungku berdegup kencang. Kali ini rocker ini lebih bijak dari aku.

“Aku mau muntah, berhenti dahulu”

“Ya Allah, jangan sakit lagi mbak, dak tega aku.”

Aku keluarkan seluruh nasi padang yang kusantap dengan lahap tadi siang. Di tikungan ketakutanku. Aku keluarkan juga ketakutanku disana. Dan aku melupakanmu dengan sangat. Pada tanggal dan bulan yang sama ketika kau dengan egomu menjadikan tikungan itu sebagai ketakutanku. Kau mematri itu dulu wahai teman di tikungan itu. Aku memuntahkannya sekarang. Aku merasa menang. Bahwa aku tak ingin ada ketakutan dan cerita tentangmu teman (ini untuk ulah seorang sahabat yang mencoba melukai perasaan perempuannya).

Aku memeluk Rio erat sampai rumah. Dia adalah sahabat, bahkan lebih. Aku menganggapnya keluarga, dan aku sangat menyayanginya. Ini bukan tentang aku tidak ditemanimu atau tidak wahai pacarku, aku sangat malas ditemanimu sejujurnya, karena sudah pernah kujelaskan bahwa aku memahami pekerjaanmu dengan sepenuh hati. Tapi aku pernah mengalami hal-hal yang buruk ketika aku kecil. Dan jalanan itu dulu pernah penuh kenangan, dan tepat satu tahun itu, aku mampu melupaknnya. Sayang kau tak tau proses ini wahai pacarku. Tapi aku lebih lega, karena saudaraku ada disini.

Dan pada hari itu juga, aku tidak menggantungkan kehidupanku denganmu, walau tak mampu kuungkapkan. Jika ada kalimat I’m young, free and single, ketika kemarahanmu meluap waktu itu. Dirimu akan dapatkan kalimat I’m independent women honey.

Sudut Kuning

Februari 2010

Komentar

Anonim mengatakan…
dalem bgt

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil