Perempuan Dalam Kubangan Cita-Cita Kultural
Oleh :
Angger Wiji Rahayu
diterbitkan dalam : www.jurnalperempuan.org
Abstrak
Tulisan
ini menyoroti bagaimana posisi perempuan di ranah produktif dalam perspektif
patriarki yang mengakar di masyarakat. Tulisan ini menguak perdebatan
masyarakat tentang perempuan yang menjadi ibu rumah tangga atau perempuan
bekerja yang saat ini digugat eksistensinya. Di balik peningkatan partisipasi
perempuan di ranah ekonomi secara statistik, tulisan ini menyoroti perkembangan
secara kultur perempuan yang berkontribusi di ranah produktif. Selain itu, tulisan ini juga menyoroti
cita-cita kultural yang menempatkan perempuan menjadi perempuan bekerja dengan
beban ganda. Serta munculnya berbagai persoalan
baru perempuan di ranah produktif, menjadi perempuan bekerja atau perempuan
karier.
Kata
kunci : Perempuan karir, ibu rumah tangga, cita-cita cultural perempuan
Abstract
This paper highlights how
women in work environments in a
patriarchal perspective rooted in our community. This paper reveals the debate about women who sued existence, as being a housewife or as a working woman. Behind the increased statistics on women's participation in the economic arena, this paper highlights
development of women in professional world. In addition, this paper also
highlights cultural ideals that put women as a career woman with a double
burden with various problems accompanying.
Key words : Career women, housewifes, women’s cultural ideas
Dunia ibu, dunia
perempuan, adalah dunia perlawanan dalam diam, dunia pemberontakan dalam
kepatuhan, dunia hening di tengah ingar-bingar keramaian dan kekacauan hidup,
dunia kesendirian dalam riuh dan sunyi, dunia penyerahan dalam ketakutan dan
ketidakberdayaan. (Maria Hartiningsih, Kompas 12 Juni 2011)
Terbelenggu
Budaya
Aktivitas
domestik sudah sejak lama dilekatkan dengan perempuan. Asosiasi tersebut bahkan
sudah ada jauh sebelum kebanyakan perempuan lahir. Hal itu kemudian menjadi
budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan dengan manusia pekerja
domestik (homemaker) yang dinilai tidak dapat
berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak bisa lebih
dari sekadar aktivitas dalam rumah.
Di
kemudian hari, terutama di dunia kerja, banyak posisi strategis yang aksesnya
tertutup bagi perempuan. Perempuan dianggap tidak patas memimpin
dalam pekerjaan karena dinilai sebagai
makhluk yang terlalu menggunakan perasaan dan sulit mengambil keputusan dengan bijak. Pelekatan pembagian pekerjaan
antara perempuan dan laki-laki sudah sejak lama diyakini kebenarannya.
Perempuan selalu dikaitkan dengan beberapa kata, 'sumur, dapur, kasur’ yang
hingga kini digugat eksistensinya. Wacana tersebut dinilai sebagai wacana usang
yang tidak dapat dibuktikan secara nyata karena banyak perempuan yang juga
mengambil bagian penting di ranah produktif. Walaupun pada tataran kenyataan,
secara mendalam perempuan masih terus dilekatkan dengan ‘sumur, dapur, dan
kasur’ dan belum mampu keluar secara utuh tanpa tendensi apapun.
Dekade
terakhir, kiprah perempuan di ranah produktif mulai menunjukkan eksistensinya.
Bisa kita lihat bagaimana perempuan dilibatkan secara aktif bekerja di semua
lini. Mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik hingga agama. Semua lini telah
dapat mengandalkan perempuan sebagai sumber daya manusia yang produktif dan
handal. Meski demikian, toh, banyak hal yang masih membelenggu perempuan dalam
kiprahnya di ranah produktif.
Namun perempuan
masih saja terbelenggu dengan budaya, mitos,
dan jauh dari kata kompetensi yang sehat di ranah produktif. Banyak anggapan
perempuan yang bekerja di ranah produktif akan lebih kesulitan mengambil
kebijakan ketimbang laki-laki, sekalipun kompetensinya melampaui laki-laki.
Begitu pula dari sisi agama, perempuan pemimpin hingga saat ini masih dianggap
tabu dan menyalahi kodrat.
Dewasa
ini, pelekatan perempuan dengan pekerjaan domestik masih menjadi cara yang
paling ampuh untuk melanggengkan ideologi patriarki. Manneke Budiman dalam
Jurnal Perempuan volume 18 tahun 2013, menyebutkan bahwa pekerjaan domestik
tidak pernah dianggap sebuah pekerjaan. Pekerjaan domestik dianggap tidak
menghasilkan uang dalam dimensi ekonomi sehingga membuat pekerjaan domestik
bukan menjadi bagian pekerjaan produktif.
Karena
itu perempuan yang bekarya di ranah publik terus saja dibebankan dengan tanggung
jawab domestik seperti mengasuh anak, mengurus rumah, memasak, menyiapkan
kebutuhan keluarga, membayar tagihan-tagihan, dan masih banyak pekerjaan
domestik lainnya. Serta harus mempertimbangkan berbagai persoalan keuangan,
pendidikan, serta sosial maupun keharmonisan keluarga.
Perempuan
yang memilih bekerja harus melakukan dua
hal sekaligus, menjadi produktif dengan bekerja di ranah publik dan di tetap
mengurusi urusan domestik. Hal ini akhirnya menimbulkan masalah baru yaitu
perempuan terus saja bekerja untuk mengaktualisasikan dirinya namun impiannya
terbatas hanya bekerja saja dan menghasilkan pundi-pundi ekonomi agar mendapat
penghargaan dan perlakuan yang lebih baik dari suami serta tidak menggantungkan
hidupnya kepada laki-laki. Sedangkan cita-cita perempuan harus terkubur mati
bersama tumpukan beban yang terus saja membuatnya mati perlahan.
Data Memaparkan
Pergeseran
nilai-nilai di masyarakat mengenai perempuan bekerja memang dicatat mengalami kemajuan yang terus meningkat baik
dari dekade sebelumnya. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan
pada tahun 1980 sebesar 32,43%, tahun 1990 sebesar 38,79%, dan pada tahun 2014
TPAK perempuan sudah menjadi 50,22%.
Angka ini
terus melaju pesat setiap tahunnya dan dinilai sebagai kemajuan pembangunan.
Ini menjadi laporan peningkatan kualitas hidup kaum perempuan. Angka ini
menjadi faktor penting dalam berbagai hal untuk mencapai tujuan kesejahteraan
kaum perempuan pada khususnya dan masyarakat secara luas pada umumnya.
Ada
beberapa hal yang mendasari perkembangan kemajuan perempuan seperti yang
disebutkan Abdullah (2001:104), yaitu pergeseran dalam diri perempuan sendiri
dan pergeseran nilai, norma yang menyangkut perubahan peran kelembagaan.
Abdullah menegaskan pula bahwa perubahan ini merupakan tanda dukungan
kelembagaan yang memberikan jaminan bagi keterlibatan perempuan. Walau
demikian, perkembangan angka tersebut dapat dimaknai pula dengan beberapa
pertanyaan mendasar, di posisi apakah perempuan bekerja? Bagaimana kualitas
kerja perempuan itu?
Maria
Hartiningsih juga memaparkan bahwa Penguatan kesetaraan jender dan anak muda
tidak boleh diabaikan karena perempuan dan orang muda harus mendapat cukup
informasi dan kebebasan untuk dapat mengambil keputusan mengenai hak
reproduksi, usia saat menikah, saat memiliki dan jumlah anak, serta kebebasan
berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di lingkungan
mereka.
BPS
mencatat dari 100 penduduk yang bekerja sebagai:
· tenaga kepemimpinan dan
ketatalaksanaan, 18 orang adalah perempuan dan 82 adalah laki-laki;
· bekerja dengan status berusaha
dibantu buruh dibayar/tidak dibayar, 23 orang dan 77 orang laki-laki;
· bekerja dengan status
pegawai/buruh/karywan, 34 orang perempuan dan 66 orang laki-laki
· pekerja keluarga/tidak dibayar,
73 perempuan dan 27 laki-laki
Perempuan
yang bekerja masih menempati posisi yang tidak strategis. Perempuan masih
tertinggal dari laki-laki dalam menduduki posisi yang membutuhkan keahlian
pengambilan kebijakan. Status pekerjaan sebagai pengusaha (berusaha sendiri dan
berusaha dibantu buruh) dan buruh/pegawai/karyawan saat ini masih didominasi
laki-laki. Sementara status pekerjaan sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar
didominasi perempuan. Senada yang dijelaskan oleh Abdullah (2001:105),
“Pembagian
kerja secara seksual tidak hanya terjadi antara bidang domestik dan publik,
tetapi dalam bidang publik pun terjadi segmentasi yang menempatkan perempuan
dan laki-laki pada segmen yang berbeda. Karena itu, subordinasi dalam
stratifikasi gender menunjukkan bentuk yang jelas dalam kehidupan ekonomi di
mana perempuan berada posisi subordinat terhadap laki-laki. Seperti halnya
perbedaan domestik dan publik, stratifikasi dalam struktur ekonomi juga
merupakan alat penegasan arah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
“
Dalam
masyarakat, pemimpin usaha sering dilekatkan sebagai jabatan laki-laki,
sedangkan perempuan selalu dilekatkan sebagai unsur pendukungnya. Andaikata
mendapatkan posisi dalam pekerjaan, biasanya perempuan dilekatkan dengan
pekerja keluarga yang tidak diperhitungkan jerih payahnya. Ini menunjukkan
bahwa peningkatan kuantitatif partisipasi perempuan di ranah produktif belum
sesuai dengan semangat kesetaraan gender. Kesetaraan gender hanya dipahami
sebagian besar masyarakat dengan kesetaraan kesempatan perempuan dan laki-laki.
Namun secara kontekstual, pemahaman tersebut masih sangat dangkal, tabu, dan
bekerja di ranah mitos.
Struktur
upah juga menunjukkan gejala yang sama. Perempuan mengalami diskiminasi yang
sangat tidak adil. Perempuan dilabelkan sebagai sumberdaya yang lemah, kurang
berkompeten dan layak dibayar murah karena tidak mempunyai tanggungjawab
sebesar laki-laki dalam kehidupannya, serta dilekatkan dengan pekerjaan yang
tidak strategis.
Dalam
konteks ekonomi, upah yang rendah bagi perempuan diposisikan sebagai
satu-satunya alat untuk membayar jerih payah perempuan. Sedangkan peningkatan
kapasitas dan jaminan karir masih menjadi bayang-bayang semu bagi perempuan
yang fitrahnya ditasbihkan masyarakat menjadi ibu rumah tangga.
“Dalam
situasi ekonomi yang semakin kompetitif, perempuan tidak lebih merupakan
instrumen kapitalisme. Keterlibatan perempuan bukan merupakan fungsi dari
peningkatan kesadaran laki-laki dan perempuan sehingga tidak memiliki arti
mendasar bagi peningkatan kesejahteraan perempuan. Dalam situasi semacam ini,
pemberian upah yang rendah telah menjadi alasan mempekerjakan perempuan.
meskipun perempuan mengerjakan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, mereka
tetap menerima upah yang lebih rendah. Akses perempuan terhadap berbagai
peningkatan karier pun sangat dibatasi oleh kepentingan pencarian keuntungan.“
(Abdullah, 2001:198)
Tabel
dibawah ini akan menjelaskan rata-rata upah pekerja menurut jenis lapangan
pekerjaan utama dan jenis kelamin pada tahun 2014 yang dihimpun oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) RI. Angka statistik di bawah ini akan menjadi gambaran
bagaimana diskriminasi upah juga menghantui perempuan bekerja.
Tabel
1. Rata-rata Upah Pekerja menurut Jenis Lapangan Pekerjaan Utama dan Jenis
Kelamin, 2014
Lapangan Pekerjaan Utama
|
Jenis Kelamin
|
Total
|
Rasio Upah
|
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
|||
Pertanian
|
823.649
|
1.348.722
|
1.231.925
|
61,07
|
Non pertanian
|
1.666.514
|
2.143.673
|
1.976.203
|
77,74
|
Jumlah
|
1.622.863
|
2.069.280
|
1.917.152
|
78,43
|
Sumber :
Statistik Perempuan dan Laki-laki, BPS RI, 2014
Rata-rata
upah pekerja perempuan hanya sekitar 61,07% dibandingkan laki-laki yang berada
di angka 77,74%, bahkan jauh melebihi rata-rata strutur upah pekerja yang
sebesar 78,43%. Rata-rata yang lebih rendah tersebut bukan hanya berlaku di
sektor pertanian, melainkan pula di sektor nonpertanian. Abdullah (2001 : 159)
menegaskan bahwa,
“laki-laki
masih saja menjadi “pemilik” utama pertanian dan yang bertanggungjawab penuh
apabila ia tidak keluar untuk bekerja di luar usaha tani”
Sedangkan
bila merujuk data dibawah, TPAK perempuan di tahun 2014 sebesar 50,22 %
sedangkan laki-laki sebesar 83,05 %, yang artinya setengah perempuan usia kerja
tidak masuk ke dalam angkatan kerja, dan masuk dalam kategori bukan angkatan
kerja (sekolah, mengurus rumah tangga dan lain-lain).
Melihat
besarnya jumlah perempuan yang hanya mengurus rumah tangga dan berbanding
terbalik dengan jumlah laki-laki, menegaskan mengenai posisi perempuan yang
masih menjadi manusia kelas dua. Dalam konteks kultural, posisi perempuan yang
lebih rendah dari laki-laki mempertegas pandangan negara mengenai pekerjaan
domestik. Secara tidak langsung, negara terus mendefinisikan perempuan sebagai
kelompok yang tidak produktif.
Table
2. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas dan Jenis Kegiatan Selama Seminggu yang
Lalu, 2014
Jenis Kelamin
|
Usia Kerja
|
||||
Angkatan Kerja
|
Bukan Angkatan Kerja
|
||||
Bekerja
|
Pengangguran Terbuka
|
Sekolah
|
Mengurus Rumah Tangga
|
Lainnya
|
|
Perempuan
|
43.165.000
|
2.882.000
|
8.381.000
|
34.222.000
|
3.041.000
|
Laki-laki
|
71.463.000
|
4.363.000
|
8.388.000
|
1.798.000
|
5.290.000
|
Jumlah
|
121.873.000
|
61.120.000
|
Sumber : Statistik Perempuan dan
Laki-laki, BPS RI, 2014
Sekitar
34 juta jiwa perempuan yang bekerja di sektor domestik. Hanya 1,7 juta
laki-laki di sektor ini. Ketimpangan jumlah ini seyogianya memperkuat pandangan
kultural bahwa perempuan cenderung lebih tepat bekerja di ranah domestik dan
dianggap biasa saja oleh masyarakat, walaupun saat ini perempuan bekerja bukan
hal asing lagi.
Selain
itu, BPS mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan lebih
tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 6,4 %, sedangkan TPT laki-laki 6,02 %. Ini
menunjukkan bahwa secara konsep ekonomi, perempuan yang bekerja di ranah
domestik tidak diperhitungkan usahanya karena tidak dapat menghasilkan ataupun
membantu untuk meningkatan perekonomian keluarga. Sekalipun telah bekerja lebih
dari satu jam berturut-turut keringat perempuan tidak juga diperhitungkan dan
dinilai secara ekonomi. Hal inilah yang mendasari mengurus rumah tangga masuk
ke kelompok bukan angkatan kerja.
Ibu
Rumah Tangga VS Perempuan Bekerja
Era
1900-an, RA Kartini seolah berdiri kokoh sendirian melawan tradisi yang
membatasi perempuan Jawa dalam mengakses pendidikan . Dalam perjuangannya, ia
terus berbicara tentang keterlibatan perempuan dalam sektor publik. Baginya
perempuan harus setara dengan laki-laki dalam kesempatan memperoleh akses
pendidikan. Kartini yakin bahwa pendidikan mampu mengubah cara pandang
masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup perempuan.
Senada
yang disampaikan oleh tim penulis buku “Gelap Terang Hidup Kartini”,
“Kartini
memberontak terhadap feodalisme, poligami, dan adat istiadat yang mengukung
perempuan. Dia yakin pemberian pendidikan yang lebih merata merupakan kunci
kemajuan” (2013 : 8)
Saparinah
Sadli dalam “Gelap Terang Hidup Kartini” juga menegaskan bahwa Kartini
mendobrak tradisi dan ingin mengubah hal-hal yang membuat orang tidak
diperlakukan secara setara. Salah
satunya dengan membangun sekolah keputrian. Kartini melatih berbagai anak
perempuan Jawa untuk dapat mengembangkan diri sekaligus membekali mereka dengan
berbagai keterampilan hidup, seperti misalnya menjahit dan memasak.
Perjuangan
Kartini ternyata membuahkan hasil yang nyata. Tradisi pingitan pelan-pelan
mulai pudar dan perempuan memiliki akses yang luas ke dunia pendidikan serta
berkarya di berbagai bidang. Saat ini, akses perempuan untuk bekerja di ranah
publik sudah semakin luas. Perempuan dapat memilih pekerjaan dan meningkatkan kapasitasnya
untuk meniti jenjang karir lebih tinggi. Perempuan pula dapat memilih semua
potensi, apa yang disukai dan apa yang tidak disukai. Kesempatan ini banyak
digunakan oleh perempuan untuk mengaktualisasikan diri dalam ranah produktif.
Perempuan telah resmi berkontribusi secara nyata dalam pembangunan, baik di
bidang ekonomi, sosial dan politik. Namun, tidak sedikit pula perempuan bekerja
karena terdesak tuntutan ekonomi dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga.
Akhir-akhir
ini, ada keributan mengenai perempuan yang menjadi ibu rumah tangga atau
menjadi perempuan karir. Ada yang menilai bahwa menjadi ibu rumah tangga murni
merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Ada pula yang menilai bahwa untuk apa
perempuan sekolah tinggi-tinggi namun tidak dapat mengaplikasikan ilmunya dan
memilih menjadi ibu rumah tangga. Cerita ini mengilustrasikan bagaiman
perempuan terus saja dihadapkan pada persoalan cita-cita kultural mengenai
perempuan ideal yang saat ini telah mampu berkontribusi secara nyata dalam
pembangunan.
Hefri
mengunggah sebuah tulisan di media sosial bahwa ia bangga anaknya diasuh oleh
istrinya yang lulusan sarjana sebuah universitas dan fokus bekerja menjadi ibu
rumah tangga. Di lain sisi, Donna mengunggah sebuah tulisan yang isinya jangan
mendeskreditkan perempuan bekerja karena mereka mencari nafkah bagi keluarga
dan rasanya ingin menangis meninggalkan anaknya pada pengasuh.
Kedua
cerita di atas menggambarkan betapa konflik mengenai pekerjaan, status
perempuan dalam masyarakat lokal kita masih menjadi perdebatan yang menarik. Di
satu sisi, ada yang masih melanggengkan sikap bahwa perempuan memang selayaknya
bekerja di rumah dan bertanggungjawab penuh terhadap pengasuhan, pendidikan,
dan keharmonisan rumah tangga. Di sisi lain ada yang menilai bahwa perempuan
wajib bekerja karena berbagai faktor selain tuntutan ekonomi juga karena
aktualisasi dirinya sebagai manusia.
Tedjasukmana
dalam Abdullah (2001 : 108) menuliskan sebuah kepiluan mengenai cita-cita
perempuan,
“ketika
saya masih kecil, tertanam pendidikan dari orang tua yang menyebabkan anak-anak
perempuan tidak terlalu berambisi menjadi wanita karier. Tidak ada pilihan bagi
gadis-gadis selain menjadi istri dan ibu bagi suami dan anak-anaknya kemudian.
Banyak keluarga yang mengejek anak perempuan menjadi juara kelas tapi tidak
dapat menanak nasi. Keluarga yang mempunyai gadis sangat khawatir apabila
anak-anaknya tidak mendapatkan jodoh. Rupanya prestasi tertinggi nilainya bagi
seorang perempuan adalah apabila ia berhasil menikah dan mempunyai anak.”
Cita-cita
kultural mengenai perempuan tersebut sebenarnya menjadi sangat bias bagi
perempuan. Perempuan seolah dipenjara oleh kungkungan tradisi yang tidak dapat
membebaskan dirinya sekaligus dari beban domestik bila bekerja di ranah
produktif. Perempuan yang bekerja di
luar rumah lantas tidak dapat fokus terhadap cita-citanya, melainkan terjebak
dalam dua dunia sekaligus, di dunia produktif dan domestik. Atau yang dekade
ini disebut beban ganda (double
burden). Sapiro
dalam Ardaneshwari (2014 : 25) mengatakan,
“kecenderungan
klasik untuk mempertentangkan posisi perempuan dan dunia kerja didasari
kekhawatiran tidak beralasan bahwa dengan bekerja di luar rumah, keluarga dan
juga keperempuan perempuan itu sendiri, akan terganggu.”
Candaraningrum
(2014 : 14) menegaskan bila perempuan pulang ke rumah sehabis pekerjaan
formalnya maka ia akan mengerjakan tugas pekerjaan shift kedua. Ia menegaskan ini adalah takdir yang
sangat tragis bagi perempuan, bukan dikarenakan perlawanan atau ketidaksukaan
akan pekerjaan domestik, melainkan perempuan membutuhkan waktu untuk
beristirahat, berefleksi dan menenun diri.
Jika
dilihat secara dalam kenyataan tersebut sangat tragis dan memilukan. Kenyataan
tersebut harus terus disikapi perempuan dengan kata sabar, amal mulia, dan kewajiban
sehingga penolakan-penolakan yang massif akan memperburuk kualitas kehidupan
perempuan serta menganggu kehidupan perempuan secara utuh. Fakih (1997:12)
menjelaskan bahwa ada lima ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan,
yaitu marginalisasi pada perempuan, penempatan perempuan pada subordinat,
stereotipe perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan beban kerja tidak
proporsional.
Saat ini,
banyak perempuan yang mengorbankan dirinya untuk keluarga. Setelah menikah,
perempuan pula dituntut untuk mendapatkan keturunan. Tuntutan ini biasanya
disertai dengan anggapan bahwa perempuan harus mengorbankan kiprahnya di ranah
produktif dan menjadi ibu rumah tangga saja. Tedjakusuma, Berninghausen dan
Kerstan dalam Abdullah (2001 : 114) menjelaskan,
“Ketimpangan
gender sesungguhnya ditegaskan terus menerus oleh struktur sosial yang
patriakal, laki-laki dan perempuan. Perempuan cenderung mengalah pada suami
dalam suatu struktur hubungan. Tindakan ini merupakan tindakan pemeliharaan
hubungan yang harmonis yang sekali lagi menegaskan bahwa perempuan tidak
memandang kegiatan ekonomi sebagai dunia perempuan. Dunia perempuan tetap ibu
rumah tangga sehingga perempuan ideal adalah ibu rumah tangga yang baik.”
Pada dasarnya
kebijakan politik, budaya, adat istiadat telah menggeser sedikit cara pandang
upaya perempuan mensejajarkan diri dengan laki-laki. Walaupun berbagai
tantangan, hambatan terus menjadi bagian dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar
perempuan. Tuntutan-tuntutan tersebut terus
berkembang menjadi cita-cita kultural. Secara tidak langsung, peningkatan angka
statistik tentang partisipasi perempuan berarti peningkatan beban kerja
perempuan pada umumnya. Perempuan selalu saja dihadapkan dengan pilihan yang
sulit mengenai kehidupannya, terbelenggu aturan-aturan yang secara terus
menerus menghantuinya hingga usianya senja. Termasuk, menentukan berbagai
pilihan hidupnya, menjadi ibu rumah tangga atau bebas berkontribusi di ranah
produktif dengan beban yang lebih berat.
Perempuan Bekerja atau Perempuan Karir
Sebut
saja DR. Ia seorang pegawai negeri sipil dengan tiga orang anak. Ia menitipkan
satu orang anaknya yang balita kepada tetangga yang membantunya menjadi
pengasuh. DR memiliki suami yang juga seorang pegawai negeri sipil.
“Banyak
sekali perempuan yang keasyikan bekerja, lantas lupa melakukan tugasnya yang
utama, yaitu menjadi ibu bagi anak-anaknya, melayani suaminya. Jika keasyikan
bekerja, nanti suaminya dilayani sama perempuan lain lho. Udah dilayani
habis-habisan saja masih saja lari, apalagi tidak diurusin. Jadi saya hanya
bekerja, supaya jika ingin memberi orang tua, beli bedak tidak mengharapkan
uang dari suami lagi, cukuplah bekerja, kalo berkarir masih berpikir dulu dan
harus dapat restu suami. Yang paling penting itu keluarga dan keharmonisan keluarga”
(DR, 35 tahun, ibu rumah tangga)
Begitulah
nasehat seorang teman mengenai pengalamannya dalam kehidupan berumah tangga.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa tugas-tugas pokok sebagai seorang perempuan
dan istri harus tuntas terlebih dahulu sebelum perempuan keluar kantor. Belum
lagi tuntutan perempuan harus terus cantik dan bertubuh langsing agar suami
selalu melihat kebaikan di tubuh perempuan. Senada yang disebutkan DR, Abdullah
(2001 : 37) menegaskan bahwa, penerimaan sosial dan batas-batas hubungan sosial
dipengaruhi oleh bentuk tubuh seseorang, yang itu menjadi ukuran menarik
tidaknya seseorang.
Penilaian
tersebut sangatlah berkaitan dengan nilai kultural dalam masyarakat. Masyarakat
secara tidak langsung terus saja mengukuhkan bahwa perempuan yang berkarir juga
harus memiliki kapasitas dalam pengelolaan rumah tangga yang baik. Perempuan
dibebankan banyak sekali beban pekerjaan seumur hidupnya. Penilaian tersebut
mengakar menjadi momok yang sangat menakutkan bagi perempuan. Perempuan dengan
eksplisit seringkali mendefiniskan dirinya sebagai makhluk yang lemah dan
semakin lama akan menua serta butuh perlindungan.
Pada
akhirnya perempuan lebih banyak memilih menjadi perempuan bekerja yang tidak
mementingkan karir ataupun cita-cita yang ingin diraihnya. Perempuan seolah
melupakan cita-cita masa kecilnya yang meluap-luap dan menghambakan dirinya
pada aktifitas yang monoton -bekerja, pulang kerumah, bekerja di ranah
domestik, mengurus anak dan turut menyumbangkan penghasilan ekonominya untuk
kepentingan keluarga.
Realita
ini menimbulkan bukan hanya ide-ide baru yang berkembang menjadi budaya baru
bagi perempuan. Perempuan banyak yang memimpikan bekerja dari rumah sembari
tidak meninggalkan statusnya menjadi ibu rumah tangga. Hal ini dilakukan agar
beban ganda yang melingkupi perempuan berkurang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut
menjadi idaman sebagian perempuan seperti, berdagang di rumah, menjadi pengrajin,
penjahit dan, bahkan menulis.
Hasil
penelitian Abdullah (2001 : 183) menjelaskan ada empat keuntungan bekerja di
industri kerajinan dekat rumah. Pertama, pekerjaan industri kerajinan
memberikan kemungkinan bagi perempuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga sehingga tidak mengganggu tugas rumah. Kedua, pekerjaan industri
kerajinan dapat dilakukan tanpa harus meninggalkan kewajiban perempuan sebagai
ibu karena pengasuhan anak tetap dapat dilakukan. Ketiga, industri kerajinan
juga melibatkan anggota rumah tangga (terutama suami dan anak-anak) sehingga
dapat meringankan beban perempuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai
pekerja. Keempat, penyelesaian tidak terikat pada waktu dan jam kerja sehingga
dapat dikerjakan di sela-sela pekerjaan rumah tangga.
Sayangnya
usaha ini di dalam dimensi kultural ekonomi kita masih dianggap pekerjaan
sampingan, bukan pekerjaan utama. Pekerjaan yang dilakukan dari rumah masih
diidentikan dengan pekerjaan yang tujuannya membantu ekonomi keluarga, bukan
menjadi pilihan ekonomi utama keluarga. Walaupun pendapatan yang diterima oleh
perempuan yang terlibat dalam industri menurut Abdullah (2001 : 187), memiliki
arti penting dalam penghasilan rumah tangga. Walaupun banyak yang mengatakan
bahwa pekerjaan kerajinan merupakan pekerjaan sampingan, justru kegiatan
kerajinan memberikan upah yang lebih besar.
Selain beban
ganda, persoalan kesempatan yang layak juga menjadi persoalan yang prioritas
bagi perempuan di dunia kerja. Perempuan selalu diposisikan menjadi inferior dalam
dunia kerja, bukan saja karena kemampuannya diragukan, juga dikarenakan kesehatan
reproduksinya yang menjadi alasan utama. Persoalan kehamilan, menyusui,
mengasuh anak masih menjadi persoalan yang dianggap beban produktifitas kerja. Perempuan
terpola dan terpusat pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat menerima perintah,
seperti sekretaris, resepsionis, waitrees,
atau pembantu rumah tangga (Kanter dalam Abdullah, 2001)
Kompleksnya
masalah perempuan baik perempuan bekerja yang tidak berkarir maupun perempuan
yang bekerja dengan meniti karirnya menjadi gambaran secara utuh bahwa
persoalan yang sangat mendasar adalah mampukah perempuan memilih secara
subjektif, bukan secara kultural untuk hidupnya. Kedua pilihan tidak ada yang
salah, melainkan apa yang menjadi prioritas dan preferensi dirinya tanpa
intervensi kultural. Be
yourself, to be women.
Mendobrak
Realita
Angka-angka statistik dari tahun-ke tahun terus
memaparkan kemajuan partisipasi perempuan di dunia kerja. Walaupun beberapa
masih menampilkan kesenjangan yang sangat jauh antara perempuan dan laki-laki,
diskriminasi yang melebar antara perempuan dan laki-laki. namun persoalan beban
ganda, perempuan yang berkarir, kesempatan yang terbatas masih menjadi wacana
usang yang seyogyanya terus menghantui dan membunuh perempuan secara
pelan-pelan.
Maria
Hartiningsih menuliskan pendapat Melinda Gates dari Gates Foundation bahwa,
bila perempuan memegang kendali anggaran rumah tangga dan punya hak mengontrol
tubuhnya maka perempuan punya kekuatan menentukan masa depannya dan dapat
membuat dunia berubah lebih baik.
Pendapat
yang bisa mengguncangkan dunia sekaligus membawa perempuan pada tahap kesadaran
bahwa persoalan perempuan bukan hanya milik perempuan semata. Persoalan
perempuan bukan melulu mengenai hal-hal di luar kendalinya, melainkan hal-hal
privat yang sangat masif terus di kontrol oleh sistem sosial. Sistem sosial
selalu berperan dalam menentukan wajah dan peran perempuan sesungguhnya, mau
menjadi apa perempuan dan generasinya.
Masyarakat, berbagai
komponen sosial, laki-laki dan semua lini harus berperan aktif dalam
menghapus nilai-nilai kultur yang mulai usang dan diskriminasi. Berbagai
pilihan ada di depan mata, perempuan butuh dukungan yang masif untuk bangkit
dari diskriminasi, beban ganda dan cita-cita kultural perempuan yang usang.
Perempuan harus terbebas dari beban ganda ketika mereka
menikah, dan terus melanjutkan potensi yang dimilikinya. Tentu saja, tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Kartini harus mati untuk memperjuangkan
cita-citanya, bahkan beratus tahun setelah kematiannya, apa yang
diperjuangkannya bermanfaat sangat besar bagi kaum perempuan.
Mendobrak
realita. Berdiri kokoh menjadi perempuan dan mampu memilih menjadi apa merupakan
kunci menyingkirkan pikiran-pikiran usang mengenai perempuan bekerja. Sejatinya
perempuan harus meraih cita-citanya setinggi langit, dan terbebas dari semangat
kultur yang menempatkan perempuan di kelas kedua.
Sudah
saatnya kita tidak terjebak dengan berbagai angka-angka statistik saja, namun secara
kontekstual malah terjerumus pada nilai-nilai usang yang hanya diperbarui
bungkusnya saja. Menjadi perempuan mandiri, memilih dan bersikap, satu-satunya
cara melawan. Bukan hanya kekerasan terhadap perempuan yang membutuhkan
perlawanan oleh semua, namun cita-cita kultural yang telah usang pula harus
dilawan. Bukan hanya oleh perempuan, tapi oleh sistem, kebijakan yang setara
dan dimulai sejak
pola pikir yang adil.
Daftar
Pustaka
Candraningrum, Dewi. (2013), “Superwoman
Syndrome dan Devaluasi Usia : Perempuan dalam Karier dan Rumah Tangga”,
Jurnal Perempuan volume 18 No. 1, edisi Maret 2013.
Budiman, Manneke. (2013), “Bapak
Rumah Tangga : Menciptakan Kesetaraan atau Membangun Mitos Baru?”, Jurnal Perempuan
volume 18 No. 1, edisi Maret 2013.
Hartiningsing, Maria dkk. (2013),
“Agar Naik Kelas Menjadi Negara Kaya”, dilihat pada 15 Mei 2014,http://home.kompas.co.id/litbang/tarkfast/detail4.cfm?item=7&startrow=51&style=advanced&navigation=&session=1421717213845
Irwan, Abdullah. (2001), Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang
Press, Jogjakarta
Tim Liputan Khusus Kartini. (2013), Gelap Terang Hidup Kartini, Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta
Supriyanto, Sugeng. (2014), Statistik Perempuan dan Laki-laki, Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia, Jakarta
Komentar