Mitos, Data dan Fakta Perempuan Pemimpin

Abstrak
Sebagian besar masyarakat, menganggap bahwa pemimpin haruslah kaum laki-laki, baik pemimpin dalam rumah tangga maupun dalam lingkup pekerjaan dan pejabat publik. Tulisan ini membongkar mitos perempuan pemimpin berdasarkan data dan fakta. Data membuktikan bahwa perempuan yang duduk sebagai pejabat publik sangat rendah. Sehingga menimbulkan kebijakan yang tidak responsif gender. Mitos perempuan pemimpin yang melingkupi perempuan, membuat tidak sedikit terjebak terlalu dalam pada dunia patriarki.
Marginalisasi membuat perempuan menjadi other dalam kultur yang diciptakan laki-laki (Beauvoir, 2003:322)

Pendahuluan
Makna yang benar tentang kesetaraan gender belumlah dipahami oleh sebagian masyarakat kita. Istilah tersebut bahkan lebih sering dilontarkan sebagai bahan candaan yang maknanya justru jauh dari semangat kesetaraan gender. Sebagian besar masyarakat menganggap kesetaraan gender hanya sebatas persoalan pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki, siapa yang melakukan pekerjaan berat dan pekerjaan ringan, atau siapa yang memimpin dan yang dipimpin, yang mengemban tanggung jawab atau yang menjadi tanggung jawab.
Bicara kepemimpinan berarti kita akan bicara mengenai kekuasaan, jabatan dan kaitan dengan pengambil kebijakan. Konteks kepemimpinan di tingkat pemerintahan akan sangat berbeda dengan kepemimpinan di komunitas paling bawah, yaitu keluarga. Pimpinan di tingkat pemerintahan sangat menentukan kebijakan publik yang bukan hanya akan dinikmati oleh segelintir orang melainkan pula sebagian besar masyarakat.
Kebijakan menjadi poros penting bagi sendi kehidupan masyarakat. Pada kenyataannya kebijakan yang ada dirasakan masih belum mengena kebutuhan langsung masyarakat, terutama perempuan dan anak. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), biaya kesehatan yang semakin tinggi, minimnya akses air bersih, tingginya tingkat pengangguran, rentannya hukum yang melindungi perempuan korban kekerasan merupakan sebagian kecil permasalahan yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban.
Berdasarkan data SDKI[1] terakhir tahun 2007, angka kematian ibu (AKI)  Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, yang berarti bahwa ada 228 ibu meninggal setiap 100.000 kelahiran. Angka tersebut merupakan angka tertinggi di Asia. Selain itu data menunjukkan kurang dari 40% jumlah penduduk kota di Indonesia yang memiliki akses terhadap air minum PDAM dan sekitar 6 juta masyarakat miskin Indonesia membeli air bersih dari penjual keliling dengan melebihi harga air PDAM (Pokja AMPL)[2].
Walaupun kuota perempuan yang menduduki jabatan publik telah ada sejak kemerdekaan Indonesia, baik di level legislatif, eksekutif maupun yudikatif, namun kenyataannya hingga saat ini jumlah perempuan pejabat publik masih minim sekali. Hal inilah yang membuat perjuangan berbagai elemen perempuan menuntut kesetaraan di kancah perpolitikan. Berbagai kalangan melihat bahwa perjuangan kebijakan affirmative action merupakan simpul penting kebijakan lainnya bagi kesejahteraan perempuan dan anak. Untuk memperjuangkan kepentingan yang berpihak pada kaum marginal, khususnya kaum perempuan dan anak.


 Data dan Fakta Perempuan Pejabat Publik
Kuatnya dominasi laki-laki dalam tatanan sosial saat ini memaksa perempuan untuk berusaha lebih keras agar dapat tampil sebagai pemimpin. Meskipun dengan perjuangan melawan mitos, tradisi dan kepercayaan dirinya, tidak sedikit juga perempuan yang berhasil duduk di bangku kepemimpinan. Dengan menelaah data-data yang tersedia kita dapat menelisik lebih dalam seberapa besar sebenarnya jumlah perempuan yang berhasil duduk di bangku pejabat publik.

Kenyataan Perempuan Parlemen

Saat ini, perempuan mulai diperhitungkan untuk duduk menjadi pejabat publik, baik pejabat di lingkungan daerah maupun nasional, berada di posisi legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Fenomena ini dapat kita lihat dari besarnya jumlah keterwakilan perempuan di legislatif  menurut jenis kelamin mulai tahun 1955-2009, seperti tabel berikut ini.
Tabel 1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Jenis Kelamin 1955-2009
Tahun Pemilu
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
1955
256
94,12
16
5,88
272
100
1971
429
93,62
31
6,38
460
100
1977
423
91,96
37
8,04
460
100
1982
418
90,87
42
9,13
460
100
1987
441
88,2
59
11,8
500
100
1992
438
87,6
62
12,4
500
100
1997
442
88,4
58
11,6
500
100
1999
456
91,2
44
8,8
500
100
2004
485
88,18
65
11,82
550
100
2009
460
82,41
100
17,59
560
100
Sumber : Statistik Indonesia 2010, BPS RI
Jika dilihat dari data tersebut, keterwakilan perempuan di parlemen sudah mulai diperhitungkan sejak pemilihan umum tahun 1955. Ketika membandingkan persentase jumlah perempuan dan laki-laki yang duduk diparlemen, membuktikan bahwa persentase perempuan yang duduk diparlemen sangat rendah. 
Dilihat dari penduduk, Indonesia saat ini berada pada jumlah 237.641.326 jiwa, jumlah perempuan sebanyak 118.010.413 jiwa dan jumlah laki-laki sebanyak 119.630.913 jiwa dengan seks rasio 101, yang berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks Rasio nasional pada kelompok umur 0-4 sebesar 106, umur 5-9 sebesar 106, kelompok umur lima tahunan dari 10 sampai 64 berkisar antara 93 sampai dengan 109, dan umur 65+ sebesar 81 (Hasil Sensus Penduduk 2010).
Jumlah penduduk perempuan yang sangat besar tersebut, membuat kita bertanya, apakah kepentingan perempuan telah terwakili dengan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen? Hal ini dapat dilihat dari grafik garis mengenai persentase keterwakilan perempuan di DPR.
Tabel 2. Persentase Keterwakilan di Parlemen
(tidak dapat ditampilkan) silahkan cek ke www.bps.go.id
Sumber : Statistik Indonesia 2010, Data Diolah
Dari data diatas, kita dapat melihat bahwa pada tahun 2009, keterwakilan perempuan di DPR mengalami peningkatan pada pemilihan umum tahun 2009. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya tuntutan mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan di legislatif, yang sangat massif disuarakan oleh kelompok-kelompok perempuan. Perjuangan tersebut berhasil mendorong lahirnya kebijakan mengenai keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu Tahun 2003 pasal 65 ayat 1, yang menyebutkan bahwa:
Setiap Parpol peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kuota untuk setiap daerah pemilihannya dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Kenaikan kuantitas keterwakilan perempuan tersebut jika ditilik lagi lebih lanjut, kenaikannya sedikit sekali. Karena pada 2004 jumlah anggota legislatif sebesar 550 orang, dan pada 2009 mengalami kenaikan 1,82% menjadi 560 orang. Kenaikan sebesar 1,82% ini merupakan keran peluang kenaikan jumlah perempuan yang duduk di parlemen sehingga pada 2009 ada kenaikan sebesar 5,77%.
Kita juga melihat bahwa penurunan secara kuantitas laki-laki di DPR sebesar 4,46% pada rentang tahun 2004-2009 merupakan sebuah kesadaran pentingnya keterwakilan perempuan dilegislatif. Walaupun sejatinya, hasil pemilu 2004 dan 2009 sangat mengecewakan untuk keterwakilan perempuan. Senada yang dijelaskan oleh Fakih (2001),
Dominasi laki-laki dalam struktur partai politik, semakin memberikan peluang yang besar kepada laki-laki untuk menciptakan tatanan politik yang bias gender, karena dominasi satu jenis seringkali  melahirkan hegemoni dan kebijakan yang bias atas jenis yang lainnya.
Begitu pula yang disampaikan oleh Blackburn (dalam Rusta, Rika Valentina & Nia Gustiarini), feminis dan analis politik dari Monash Universitiy Australia, yang mengatakan bahwa sejarah perempuan dan politik di Indonesia selalu diwarnai dengan kejutan. Karena sejak pasca kemerdekaan perempuan Indonesia telah mencapai tingkatan-tingkatan politik yang jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain. Sejak tahun 1945 hak perempuan untuk memilih telah diakui, posisi perempuan dalam politik berlangsung berlangsung secara fluktuatif sehingga saat-saat terakhir menjelang pemilu 2004.
Lebih lanjut Blackburn mengatakan berubahnya status perempuan tersebut disebabkan karena proses demokrasi di Indonesia tidak melalui cara-cara bertahap tetapi melalui lompatan-lompatan. Setiap lompatan demokrasi menghasilkan visi-visi politik negara yang berbeda, bahkan terkadang sangat dramatis dalam konteks persoalan perempuan. Karenanya, sebelum sistem politik diperkuat dengan konstitusi dan aturan hukum yang berpihak pada perempuan, dapat dipastikan pembangunan nasib perempuan yang bersifat berkesinambungan tidak akan pernah ada.
Walaupun pada 2009 target kuantitas keterwakilan perempuan belum tercapai,  kenaikan 5,77% keterwakilan perempuan di legislatif adalah tonggak penting dalam perjuangan keterwakilan perempuan untuk menuju keterwakilan perempuan 30%. Perjuangan menuju kearah tersebut terus menerus dilakukan dengan harapan agar perempuan bisa sejajar dengan laki-laki dalam kehidupan publik secara adil, serta menciptakan kebijakan-kebijakan yang pro keadilan.

Kenyataan Kepemimpinan Perempuan di Eksekutif

Selain di legislatif, secara kuantitas perempuan masih menjadi kelompok nomor dua menduduki jabatan di tingkat eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari data dibawah ini.
Tabel 3. Jumlah Pegawai Negeri Sipil menurut Jabatan dan Jenis Kelamin

Jabatan
2008
2009
2010
Lk
Pr
Jumlah
Lk
Pr
Jumlah
Lk
Pr
Jumlah
Fungsional Tertentu
915354
1078525
1993879
950740
1189824
2140564
927360
1172288
2099648
Fungsional Umum/staf
1161897
696966
1858863
1323373
827016
2150389
1363838
915585
2279423
Struktural
180157
50461
230618
181156
52096
233252
169085
49944
219029
Eselon V
9847
2938
12785
9241
3054
12295
8972
3045
12017
Eselon IV
130607
41365
171972
130233
42261
172494
122074
40483
162557
Eselon III
32501
5593
38094
34323
6174
40497
31581
5882
37463
Eselon II
6695
508
7203
6783
556
7339
5965
487
6452
Eselon I
507
57
564
576
51
627
493
47
540
Sumber : Statistik Indonesia 2010, BPS RI
            Dari data diatas, kita dapat melihat bahwa rentang 2009-2011 perempuan yang menduduki jabatan publik mengalami peningkatan jumlah. Hal ini pula sebanding dengan peningkatan jumlah laki-laki yang menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan. Peningkatan jumlah perempuan yang menduduki jabatan dapat dilihat pada posisi jabatan fungsional tertentu. Pada 2008 hampir 54,09% perempuan menduduki jabatan fungsional tertentu begitu pula pada 2009 hampir 55,59 %  dan 2010, 55,83%.
Namun demikian posisi keterlibatan perempuan dalam pengambil keputusan penting belum signifikan. Ini terlihat dari penempatan perempuan yang masih mendominasi posisi jabatan fungsional tertentu.
Tabel 4. Persentase Jabatan Fungsional Tertentu
Sumber : Statistik Indonesia 2010, data diolah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1994, ayat 1 :
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri

Jabatan Fungsional, merupakan jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi. Jabatan fungsional tertentu merupakan jabatan fungsional yang sering dikonotasikan sebagai pekerjaan perempuan. Seperti perawat, bidan, guru, terapis, widyaiswara, dosen, penyuluh kesehatan dan sebagainya. Walaupun juga jumlah laki-laki yang menduduki posisi ini tidak sedikit jumlahnya.
Pada level pengambil kebijakan, perempuan yang duduk di tataran eselon masih sedikit sekali. Tahun 2008, perempuan hanya menduduki sekitar 10,11 % posisi eselon I, dan sekitar 8,85 % pada 2009 serta 8,7% di 2010. Pada eselon II, jumlah perempuan sekitar 7,05 % pada 2008, 7,58 % pada 2009 dan 7,75% pada 2010.
Perempuan paling banyak menduduki posisi eselon V dan eselon IV. Kedua posisi eselon ini, ditempati perempuan masing-masing pada 2008 sebesar 22,98 % dieselon V dan 24,05 % dieselon IV. Tahun 2009, perempuan menduduki posisi sebesar  24,84 % dieselon V dan 24,50 % dieselon IV. Sedangkan pada 2010 perempuan menduduki posisi sebesar 25,34% dieselon V dan 24,90% dieselon VI.
(tidak dapat ditampilkan) silahkan cek ke www.bps.go.id

Tabel 5. Persentase Pejabat Eselon tahun 2009
Sumber : Statistik Indonesia 2010, data diolah
            Sangat sedikitnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan dan proses penyusunan kebijakan cukup memprihantinkan kita. Stagnasi jumlah perempuan dalam proses kebijakan juga membuat stagnasi kebijakan yang berpihak pada perempuan. Menurut Carrigan, Connel, dan Lee (dalam Patria, 1999), kebanyakan laki-laki memperoleh keuntungan dari subordinasi kaum perempuan, dan maskulinitas hegemonik terkait dengan pelembagaan dominasi laki-laki atas perempuan.
Dalam penyusunan kebijakan pemerintah di tingkat pusat maupun daerah, misalnya sampai saat ini masih belum ada prioritas pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan hak-hak asasi manusia. Akibatnya, kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, akses terhadap air bersih, perbaikan sarana fasilitas umum dan sosial lainnya, masih belum terpenuhi.
Pengabaian negara terhadap kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut mempunyai dampak paling besar terhadap perempuan dan anak, karena akan berakibat terhadap anggaran rumah tangga, kesehatan fisik dan reproduksi, timbulnya bebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta kecilnya akses pendidikan pada perempuan dan anak-anak. Jadi perempuan mengalami penderitaan berlipat ganda dan lebih rentan terhadap pelanggaran HAM ketika kebutuhan dasarnya diabaikan (Rosidawati, 2004).

Mitos Perempuan Pejabat Publik
Tidak sedikit peranan kepemimpinan perempuan dipertanyakan oleh publik. Kebijakan apa yang sudah dihasilkan? Apa peranan signifikan dalam kebijakan yang sudah dilakukan? Apakah pemimpin perempuan sudah benar-benar memperjuangkan kaum perempuan? Serta sederet pertanyaan lain yang masih menjejali kepala kita mengenai peranan perempuan di kepemimpinan.
Sebelum kita menilik mitos perempuan bekerja dan perempuan pemimpin, kita akan menilik jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) sebesar 169,0 juta jiwa. Terdiri dari 84,3 juta orang laki-laki dan 84,7 juta orang perempuan. Dari jumlah tersebut, jumlah angkatan kerja, yakni penduduk 15 tahun ke atas yang aktif secara ekonomi yaitu mereka yang bekerja, mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha sebesar 107,7 juta jiwa, yang terdiri dari 68,2 juta orang laki-laki dan 39,5 juta orang perempuan.
Dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, jumlah angkatan kerja yang tinggal di perkotaan sebesar 50,7 juta orang dan yang tinggal di perdesaan sebesar 57,0 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja tersebut, jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 104,9 juta jiwa dan yang mencari kerja sebesar 2,8 juta jiwa (Hasil Sensus Penduduk 2010).
Data data diatas kita dapat melihat bahwa ada 36,68% perempuan yang aktif secara ekonomi. Perempuan yang aktif secara ekonomi tentu saja mengalami beban ganda dalam kehidupannya. Tentu tidak usah kita bahas lagi, tidak sedikit perempuan harus terbebani dengan beban ganda (double burdon). Disatu sisi harus mencari nafkah, dan disisi lain memiliki tanggungjawab yang besar dalam peranannya menjadi ibu rumah tangga. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang juga bekerja di luar rumah dan harus bertanggung jawab untuk keseluruhan pekerjaan domestik (Fakih, 2001).
Suka tidak suka, ketika menikah perempuan langsung mendapat peran menjadi ibu rumah tangga. Potret kehidupan perempuan di daratan patriarki memang begitu adanya. Pelekatan status dan tanggung jawab yang diberikan oleh negara sudah ajeg (konstan), karena diatur jelas dalam undang-undang. Sehingga mau tidak mau, perempuan selalu berada pada posisi yang sangat sulit, antara pekerjaannya atau keluarganya.
Dalam istilah Hegemoni yang ditemukan oleh Gramsci, patriarki dan segala atribut maskulinitasnya terus saja dipersuasikan dengan memanfaatkan lembaga-lembaga sosial dan budaya termasuk juga media massa (Connel dalam Patria). Pengaturan oleh Negara juga dituangkan dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 ayat 3 yang menegaskan bahwa :
‘suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga
Pasal ini secara jelas dan tegas mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini semakin dipertegas dalam pasal 34 UUPerkawinan No. 1 Tahun 1974, bahwa :
“suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”
Peraturan ini dengan sangat jelas membatasi peran perempuan diranah publik dan menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan gender yang berujung pada ketidakadilan gender seperti kekerasan terhadap perempuan. Peraturan tersebut secara tidak sadar telah mengakibatkan semakin tingginya praktek diskriminatif yang merugikan salah satu golongan tertentu.
Pada kenyataannya tidak sedikit pula perempuan yang memilih bekerja dan mengurus pekerjaan rumah tangga dengan bersamaan. Atau dekade ini banyak yang menyebutnya sebagai ‘wanita karir’. Berarti perempuan yang ambisius mengejar karir di lingkungan pekerjaan dan sekaligus mampu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Bukankah begitu mitosnya? Asumsi di masyarakat ‘wanita karir’ merupakan perempuan hebat yang memiliki kemampuan bersaing di dunia kerja tanpa meninggalkan embel-embel status ibu rumah tangga.
Bahkan perempuan akan dilabelkan sebagai perempuan jika urusan kerumahtanggaan beres walaupun perempuan juga mencari nafkah. Jika tidak label ‘perempuan tidak becus’, akan melekat di dalam dirinya. Termasuk sering dipersalahkannya perempuan secara sepihak atas persoalan dalam mengurus rumah tangga. Konsep stretotip perempuan seperti inilah yang menciptakan label bahwa perempuan merupakan individu yang reproduktif, dan jika perempuan masuk ke ranah produktif berarti perempuan telah melangkahi kodratnya. Laki-laki menggunakan kekuasaan dan kekuatannya atas diri perempuan untuk menunjukkan fungsi dan peranannya yang lebih kuat dari perempuan.
Tidak sedikit pula perempuan yang bekerja di ranah publik harus membawa urusan kerumahtanggaan ke tempat bekerja. Misalnya membawa anak ke tempat kerja, datang terlambat karena harus memasak dan mengantar anak ke sekolah, serta sederet pekerjaan rumah yang dibawa dalam dunia kerja. Beban, tanggung jawab akan pendidikan dan kehidupan anak sering kali dibebankan kepada perempuan, sehingga ketika tiba ditempat bekerja, perempuan tidak dapat bekerja dengan baik, yang akhirnya perempuan merasa nyaman berada di posisi yang tidak strategis. Tanggung jawab yang lebih berat, rutinitas dan mobilitas jabatan publik membuat banyak perempuan akhirnya memilih tidak ingin bersaing dengan kaum laki-laki dalam perebutan jabatan publik.
Selain, juga kondisi budaya yang juga mengkondisikan laki-laki sebagai pemimpin tidak lepas dari keengganan perempuan menduduki posisi pejabat publik. Senada yang disampaikan Widarsono dalam Wiji Rahayu (2009):
“Sistem nilai dan budaya berkontribusi terhadap langgengnya patriarki yang telah melekat dari generasi ke generasi, yang menyubordinatkan perempuan di bawah superioritas laki-laki. Perempuan masih diposisikan sebagai kelompok lemah dan perlu diajari, dibimbing, dan diamankan. Semua itu menjadi pembenaran perempuan tidak bisa berperan di ruang publik, diharuskan tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi di wilayah domestik”

Banyak hal yang membuat keterlibatan perempuan dijabatan strategis belum  diprioritaskan. Suka tidak suka harus diakui bahwa dilingkungan kita, laki-laki pasti dianggap pemimpin dan ditasbihkan layak menjadi pemimpin. Kelayakan tersebut biasanya ditunggangi oleh kondisi budaya patriarki yang secara masif memposisikan laki-laki sebagai kaum kelas satu. Mitos-mitos seperti seringkali membuat perempuan belum memiliki tempat yang sejajar dalam tatanan strategis. Sesuai dengan pendapat Fakih (2001) :
Marjinalisasi  terhadap  kaum  perempuan  terjadi  secara multidimensional yang  disebabkan  oleh  banyak  hal,  bisa  berupa    kebijakan  pemerintah,    tafsiran agama, keyakinan,  tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi  ilmu pengetahuan
Belum lagi pertanyaan apakah peranan signifikan perempuan dalam kancah jabatan strategis dijawab namun secara kasat mata kita dapat melihat bahwa belenggu mitos yang selama ini menerjang kaum perempuan membuat sebenarnya kita tau bahwa permasalahan perempuan menjadi pemimpin memang sedari awal sangat tipis peluangnya. Label perempuan hanya bekerja dalam ranah domestik sudah dipatenkan mejadi label yang tidak dapat diubah. Sedangkan peran kepemimpinan, penguasaan dan superioritas berada dalam gengaman laki-laki (Foucoult dalam Agger, 2008)
Mitos minimnya rasionalitas dalam diri perempuan dan lebih sering menggunakan perasaan juga melingkupi alasan mengapa perempuan belum layak menjadi pemimpin, sehingga pilihan jatuhnya puncak pimpinan kepada laki-laki lebih sering dikatakan tepat dalam kenyatannya.
Pemberian julukan, cap, etiket, merek yang diberikan kepada perempuan bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang reproduktif merupakan sebuah perlakuan yang diskriminatif. Penguatan pola ini diperkuat dengan tanggapan komunitas masyarakat, sehingga memperkuat citra diri perempuan sebagai individu reproduktif (Chambliss dalam Sunarto, 2004)

Sifat feminin yang dilekatkan pada perempuan membuat banyak pekerjaan yang direpresentasikan sebagai pekerjaan perempuan. Guru, perawat, bidan dan sebagainya yang terkait dalam pekerjaan fungsional tertentu menjadi pekerjaan yang dikonotasikan pada perempuan, dikarenakan sifat keibuan, perasaan dan ketelitian yang selalu dilekatkan pada perempuan. Refleksi hal ini, membuat kerentanan peluang perempuan menduduki jabatan strategis menjadi sangat minim. Senada yang diungkapkan,
Jenis pekerjaan wanita sangat ditentukan oleh seks, sedangkan laki-laki tidak. Pekerjaan wanita selalu dihubungkan dengan sektor domestik, jika ia bekerja maka tidak jauh dari kepanjangan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti: Bidan, perawat, guru dan sekretaris yang lebih banyak memerlukan keahlian manual saja (Amin, 1992).
Kematangan perempuan yang menduduki jabatan juga acap kali menjadi cibiran. Kebijakan yang diambil seringkali dicap hanya menggunakan perasaan dan emosionalitas daripada rasionalitas. Hal tersebut membuat perempuan menjadi tidak nyaman untuk mengambil kebijakan yang pada akhirnya membuat perempuan merasa minder dan akhirnya mundur dari kancah persaingan.

Kesimpulan

Dominasi laki-laki dalam pengambilan kebijakan masih tinggi sekali. Perempuan yang duduk diparlemen pada 2004 sebesar 11,82% dan 2009 sebesar 17,59%, sedangkan rentang 2008-2011 sedikit sekali perempuan yang menduduki bangku pengambil kebijakan ditingkat eselon V hingga I. Rata-rata jumlah perempuan yang menduduki posisi tersebut hanya 16,09%. Perjuangan untuk mencapai komposisi yang ideal tampaknya membuat kaum perempuan masih harus bekerja ekstra keras. Terlebih lagi beratnya mitos yang dilekatkan pada perempuan pemimpin. Kita harus bahu-membahu menciptakan iklim yang sehat supaya perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dimulai dari dari kita sendiri, keluarga dan menciptakan pemimpin-pemimpin perempuan yang tangguh, sensitif dan berorientasi pada kemajuan kaum perempuan dan anak.



 Daftar Pustaka

Agger, Ben. (2008). Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Kreasi Wacana, Yogyakarta

Beauvoir, de Simone. (2003), Second Sex : Fakta dan Mitos, Pustaka Promethea, Surabaya

BPS RI. (2010), Statistik Indonesia 2010, Jakarta
Faqih, Mansour. (2001), Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta
Hasil Sensus Penduduk. (2010), http://sp2010.bps.go.id/, dilihat pada 25 September 2011
Amin, M Mansyur. (1992) Wanita dalam Percakapan Antara Agama Aktualisasi Dalam Pembangunan, LKPSM NU DIY, Yogyakarta
Patria, Nezar. (1999), Antonio Gramsci Negara dan Hagemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Pokja AMPL. Data Air Minum. Melalui http://digilib-ampl.net/detail/list.php?tp=fakta&ktg=airminum, dilihat pada 21 Oktober 2012
Rusta, Andri & Rika Valentina, Tengku & Nia Gustriani, Nicky. Affirmative Action untuk Demokrasi yang Berkeadilan Gender  Pada Pemilu 2009. Melalui http://repository.unand.ac.id/584/. Dilihat pada 25 September 2012
Rosidawati, Imas. Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Kesiapan Partai Politik dan Perempuan Indonesia di Arena Politik Praktis. Melalui http://www.uninus.ac.id/data/data_ilmiah/Quota%20Perempuan%20di%20DPR.pdf. Dilihat pada 15 September 2012
Sunanto, Kamanto. (2004), Pengantar Sosiologi, Lembaga penerbit FE UI, Jakarta

Wiji Rahayu, Angger. (2009), Film Perempuan Berkalung Sorban dan Representasi Ideologi Patriarki (Sebuah Analisis Wacana Kritis dan Semiotika), Skripsi, Universitas Bengkulu



Penulis :
Angger Wiji Rahayu, aparatur di Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkulu Selatan. Seorang blogger di www.anggerwijirahayu.com, aktif dalam kelompok penulis muda Bengkulu, relawan di PKBI Bengkulu dan Cahaya Perempuan WCC Bengkulu.




[1] Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Survei ini dilakukan setiap lima tahun sekali oleh Badan Pusat Statistik.
[2] Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) yang terdiri dari berbagai Kementerian dan Badan terkait sertaunsur non pemerintah dan dunia usaha yang konsen terhadap isu penyehatan lingkungan dan penyediaan air minum

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil