Cerita Akhir Tahun

Akhir tahun ketika masanya habis, dan kujumpai juga perasaan menjadi perempuan yang sesungguhnya. Ketika aku merasakan tempat yang lain bersama tubuhku utuh.

Aku tak menyangka rumah kecil ini akan melupakanku pada semua hal yang membebaniku. Memberiku arti lain, dan menjadikan aku seorang perempuan. Ketika kataku lugas memanja, ketika tubuhku tegas bersuara dan ketika pertentangan-pertentangan hadir di semua sisi. Inilah hidup.
Sudah kusimpan semuanya, rapat. Tak ada satupun cara yang mampu membuka. Ketika aku mengingatpun, aku hanya biasa saja. Kusimpan di palung dan dalam air yang deras. Dan aku tak ingin bersuara lagi ketika melihatnya. Seperti ungkapan Delgo, masa lalu itu memang ada, tapi inilah hari esok. Akupun melupakannya dengan biasa saja. Seolah tak terjadi apa-apa.

Inilah rumah.

---

Suara-suara lain datang menghampiri. Ketika laki-laki bertubuh jangkung dan berambut ikal. Laki-laki berbahasa Perancis yang aku sukai matanya, laki-laki kurus memanja yang membuatkanku susu, laki-laki plin-plan yang sederhana memandangku, laki-laki setengah gempal yang sangat perhatian. Laki-laki tegas yang menyapaku dengan lembut, laki-laki baik hati yang hanya tersenyum, laki-laki sang penguasa yang menanyakan siapa aku. Laki-laki bertubuh tegap yang selalu ketika aku pergi dan pulang menyapaku. Serta segenap laki-laki kurus lain yang kujumpai berbaik hati dalam rotasi malam dan dalam rotasi pagi.

Atau perempuan kurus yang menyapaku dengan ramah. Perempuan menggunakan jilbab yang juga tertawa bersamaku, atau kedua perempuan baru yang lain yang kadang meminta perhatianku jua. Semua itu saat ini hidupku. Aku masuk dan aku menyerahkan diri pada mereka. Aku bak lawan yang masuk perangkap musuh. Namun aku tak mau keluar dari perangkap. Dan berusaha tak ingin di ekstradisi.

Seandainya saja. Ketika aku pulang, kulihat laki-laki berbahasa Perancis setengah sipit duduk disampingku. Menutup mataku dan menanyakan apa yang terjadi hari ini. Atau aku sekedar menghirup aroma tubuhnya yang wangi walaupun jarakku 3 meter darinya.

Seandainya saja. Ketika aku pulang, jeritan-jeritan aneh akan keluar dari laki-laki bertubuh jangkung dan berambut kurus. Lalu sang perempuan kurus yang menyapaku dengan ramah akan bergulat tertawa padaku. Dan kami mengakhiri hari bersama.

Mungkin ini berlebihan. Tapi kurasakan jua. Aku mencintai tempat ini, segenap utuh bersama tubuhku. Aku hatuh cinta lagi, pada hidupku.

---

Tak tau kapan rasanya. Seakan waktu masih panjang. Aku tak tau bagaimana mencintai hidup yang baru besok. Apa yang akan aku lakukan ketika aku pergi. Dan tak menemukan rumah lagi. Kemana aku harus pulang.  Ini mengenai cita-cita.

Ini mengenai rasa dalam hidup. Aku mencintai laki-laki hebat, juga dengan segenap tubuhku. Akankah aku juga begitu. Mencintai pilihan-pilihan yang telah kubuktikan. Mencintai pilihan yang memberiku hidup.

Aku tak ingin menjadi luar biasa. Aku hanya ingin menjadi biasa saja. Bergumul pada sedih. Bergumul pada tawa. Memberi arti setiap jengkal nafas. Dan mencintai setiap jengkal hidup lainnya. Dari satu masa ke masa lainnya. Atau pada saat aku ingin pada lainnya. Aku tertawa pulang. Walau aku tak mampu merengkuh.

Aku tak tau. Mungkin saja inilah hidup. Ketika aku tak ingin tapi harus terjadi. Ketika aku ingin namun tak kunjung sampai juga. Hanya segenap keutuhan hati yang hebat, yang menjadikanku ada. Ditemani sang malam dan peluh yang menyergap. Mereka selalu ada. Akupun begitu untuknya.

Tak ada kebencian, namun ada perdebatan.  Hingga pagi membuka mata, dan bahasa Perancis yang mengiringi. Tak ada yang kuhafal satupun lafasnya. Tapi lafas itu akan ada.

Komentar

Mukhtar Amin mengatakan…
Une belle histoire..........

tapi bukan di Pluto lagi ya nulisnya?
hehe :)

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil