Otokritik tentang Tubuh dan Aurat

Kali ini aku akan bercerita mengenai pandangan aku terhadap jilbab. Sebuah alat penutup kepala yang diidentikkan kepada orang Muslim. Tulisan ini bukan untuk perdebatan, mana yang benar dan mana yang salah. Tulisan ini lebih menekankan pada otokritik sikap terhadap orang-orang yang memilih tidak menggunakan jilbab, tapi menyakini menutup aurat dengan pandangannya tersendiri.

Aku akan memulai tulisan ini dengan bercerita. Cerita mengenai dorongan menggunakan jilbab yang aku dapatkan dari teman-teman. Mereka mengajakku untuk berhijrah, untuk menjadi lebih baik.

Pernah suatu hari, aku yang belum menggunakan jilbab ini di tag di FB seorang teman yang mengambil sepotong ayat Al Quran mengenai pentingnya jilbab. Aku lupa ayatnya, di ayat tersebut dijelaskan bagaimana seharusnya menutup aurat, yang melebarkan jilbab hingga menutupi dada. Jilbab bagi sebagian besar temanku adalah satu-satunya cara untuk menutup aurat. Bila aku bicara begini, lantas teman yang membaca akan mengatakan bahwa aku : Islam keblinger, syiah, liberal bahkan dulu sewaktu kuliah aku pernah dibilang bukan orang muslim, karena pandanganku mencerminkan bukan orang muslim. Cap-cap seperti itu sudah sering dilekatkan padaku. Padaku yang berpandangan berbeda mengenai menutup aurat.

Pernah suatu kali, aku didoakan teman segera menggunakan jilbab, agar segera mendapatkan keturunan. Aku jawab dengan kata ‘amin’ yang sangat panjang baik dalam tulisan dan dalam hati. Ada pula seseorang yang sejak awal mengatakan kepadaku, hal utama yang dia lakukan dan lebih dariku adalah dia sudah menggunakan jilbab sedangkan aku belum. Hal tersebut menjadi kelebihannya daripada aku. Ada pula yang mengatakan, masuknya orang tua ke surga karena sudah mampu mendorong anaknya menutup aurat dengan menggunakan jilbab. Pernah pula, sampai aku geleng-geleng ada teman yang berpendapat : makanya punya payudara jangan besar. Sedih sekali mendengarnya mengucapkan hal tersebut.

Setelah saya pikir-pikir, kalimat-kalimat tersebut sedikit terdengar sarkasme dan menyakiti hati secara lebih personal. Bahkan terdengar mengejek karena ketidaksadaranku belum menggunakan jilbab atau level imanku belum sampai pada tahap yang lebih baik. Ingin sekali teriak soal pandanganku mengenai agama, tapi apa daya, aku bukan lulusan santri sebuah pondok pesantren. Aku hanyalah aku yang berpendapat mengenai aurat dalam konteks budaya.
Beberapa hal yang aku pahami adalah, mengutip buku Quraish Shihab, membaca Al Quran tidak dapat sepotong-sepotong, harus ada konteks budaya yang melatarbelakanginya. Misal soal surga yang dijanjikan Tuhan. Kenapa Tuhan menjanjikan surga penuh dengan minuman Alkohol? Bayangkan bila Al Quran turun di Indonesia, ketika Nabi menjanjikan surga adalah tempat yang penuh dengan cahaya matahari, hutan yang rimbun. Apakah umat pada masa itu mau memeluk Islam? Tentu tidak, karena di Indonesia kita sudah terbiasa berlimpah mendapatkan cahaya matahari.
Lalu mengapa Tuhan menjanjikan minuman yang tidak boleh diminum oleh umatnya? Karena pada zaman Nabi Muhamad SAW turun masyarakat Arab gemar sekali meminum Alkohol dalam kesehariannya. Maka pada saat itu, Nabi Muhammad menjanjikan surga yang indah dalam bayangan masyarakat Arab. Agar banyak masyarakat menjadi pemeluk Islam dan mengikuti perintahNya.
Dari contoh diatas, aku sangat memahami bahwa konteks aurat adalah konteks budaya yang harus dipahami secara mendalam. Bukan persoalan tingkatan iman lebih baik atau buruk. Sebagai lulusan komunikasi, aku ingin sekali tidak mencampuradukkan agama dengan keilmuan yang aku pahami. Namun pemisahan tersebut terasa sangat sulit sekali. Karena konteksnya adalah kita bicara mengenai otokritik sikap mengenai pandangan berjilbab.
Aku tidak dapat mengatakan pandangan-pandangan teman-teman salah. Tapi akulah yang berbeda dalam menanggapi soal jilbab. Aku menggunakan pandangan bahwa menutup aurat adalah menggunakan pakaian terhormat. Pakaian yang digunakan sesuai dengan batas-batas yang dianggap sopan oleh suatu budaya. Dalam hal ini budaya ketimuran Indonesia. Bagaimana pakaian yang sopan?

Dalam pandanganku adalah pakaian yang layak dan pantas digunakan. Misalnya ketika aku ke kantor, aku tidak menggunakan pakaian you can see (baju lengan buntung). Karena bagi sebagian besar masyarakat, menggunakan pakaian you can see  dianggap kurang sopan. Atau celana pendek (hot pants) ketika keluar rumah. Atau tidak menggunakan pakaian yang terlalu ketat saat pergi ke kantor.

Penggunaan pakaian yang sopan inilah yang melatarbelakangi mengapa aku memilih tidak menggunakan jilbab. Selain pandangan lain bahwa perempuan bebas menggunakan pakaian sesuai dengan keinginannya dan ekspresinya. Selain pandangan bahwa, aku sebagai perempuan Indonesia bebas menjadi apa yang aku mau sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. 

Aku pernah berpikir ke ranah filsafat, bila rambut tidak di izinkan untuk dilihat apa gunanya rambut tumbuh? Bagaimana proses penciptaan manusia secara mendasar? Apakah dulu Tuhan menciptakan tubuh sedemikian rupa lalu untuk dihujat dan dipertanyakan? Apakah tubuh perempuan layak diperolok-olok? Bahkan oleh sesama perempuan?

Pandangan mengenai pakaian sangat vulgar dibicarakan oleh publik, aturan berpakaian menjadi salah satu sorotan yang banyak diperdebatkan. Hal-hal seperti ini seolah lebih menarik ketimbang bagaimana berelasi yang baik. Bagaimana menjaga perasaan teman untuk tidak tersinggung dengan ucapan yang diucapkannya.

Selain itu, aku juga kebingungan soal teman yang melakukan kritik terhadap tingkat keimanan yang dimulai dengan pandangan mengenai aurat. Atau jaminan masuk surga karena telah menggunakan jilbab. Pandangan tersebut seolah menggarisbawahi bahwa aku lebih benar dan lebih baik. Namun, apakah hal tersebut benar adanya? Waulahuallam bukan, sebagai manusia aku percaya bahwa hanya Tuhan yang mampu menilai secara adil.

Ada pula yang melakukan tingkatan jilbab sebagai tingkatan keimanan. Bila menggunakan niqab, maka itu tingkatan penggunaan jilbab yang paling baik diantara yang lainnya. Tingkatan tersebut dianggap tingkatan yang lebih baik dari semua metode menutup aurat. Apakah Tuhan membuat tingkatan tersebut untuk menilai keimanan siapa yang paling baik dan benar?
Bayangkan saja, bila ada teman sesama perempuan mengkritik jilbab yang digunakannya dnegan kalimat yang kurang sopan. Apa reaksimu? Aku yakin ada yang akan menjawab, ini kritik untuk kebaikan, untuk menjadi yang lebih baik. Bukan-bukan itu yang menjadi persoalan, persoalannya adalah mengapa orang lebih rela menyakiti hati orang lain hanya untuk memuaskan mendapatnya? Dari sudut pandang yang berbeda kita akan melihat bukan persoalan kebaikan, tapi persoalannya begitu tega ia bicara hal sedemikian rupa untuk memaksakan pendapatnya pada orang lain.

Jilbab dan aurat bukan soal siapa yang paling panjang menjulurkan kain ke tubuh. Jilbab dan aurat juga soal pandangan mana yang paling benar, mana yang bukan. Otokritiknya adalah bagaimana saling menghargai atas keputusan yang dipilih perempuan atas tubuhnya. Semua orang boleh berpendapat berbeda, namun apakah boleh menyakiti hati sesama? Atas dasar keyakinan? Semoga kita dijauhkan dari sikap yang kurang baik.  
-           



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persiapan SIMAK UI untuk Magister/Pascasarjana

Pertunjukan Perempuan-Perempuan Chairil